23 September 2008

BERBUKA PUASA

Oleh

Uib Sholahuddin Al ayubi

Buka puasa kita kenal dalam bahasa arab, adalah ifthar yaitu berbuka puasa. Buka puasa pada prinsipnya adalah untuk membatalkan puasa yang kita jalani dari fajar hingga terbenamnya matahari. Berbuka puasa dalam hadits Nabi Muhammad saw, untuk menyegarakan berbuka, seperti ; maa ‘ajjalu al ifthar. Hadits ini diriwayatkan dari Bukhori, dimana hadits-haditsnya memiliki kekuatan yang shohih apalagi naman kitabnya dijuluki dengan kitab shohih Bukhori.
Dalam berbuka puasa terindikasi suatu amal perbuatan bagi yang melaksanakan puasa (shaim), berbuka puasa tentunya meyediakan makanan dan minuman yang dipersiapkan. Makanan dan minuman ini tentunya juga dihasilkan dari pekerjaan-pekerjaan yang memiliki nilai-nilai kehalalan dan mengandung gizi yang baik.
Bagi yang melaksanakan berpuasa, tentunya ada yang melakukan dengan berbagai macam motivasi dan dorongan tersendiri, hal ini tentunya dalam berbuka puasa memiliki motivasi dan dorongan yang berbeda-beda berdasarkan niat dan kehendak mereka. Hal ini, ada beberapa golongan yang berpuasa dapat dilihat dari motivasi, yaitu :
Pertama, golongan yang menganggap puasanya sebagai sebuah kewajiban semata, hanya sebuah beban dipundaknya saja-dan menjalankan puasa hanya ingin terbebas dari siksa neraka atau menghendaki surga.
Kedua, golongan yang melakukan puasa demi ridha Allah dan menghendaki kedudukan yang lebih tinggi dan mulia, dan bukan hanya semata-mata menolak makanan dan minuman, atau hanya mematuhi larangan-larangan fikih.
Ketiga, golongan yang berpuasanya lebih utama ketimbang sekedar berpantang makanan dan minuman serta larangan fikih. Mereka juga berpantang berfikiran atau ide-ide yang tidak dilarang oleh agama.
Namun demikian, kita mesti menganalisa kembali berpuasa kita, berbuka puasa kita, apakah hanya melakukannya dengan kesenangan belaka. Atau bahkan berbuka puasanya secara berlebihan, inipun tidak disesuai dengan firman Allah, QS. Al-A’raf/7 : 31 “makan dan minumlah, dan janganlah kamu berlebihan”. Ayat ini memang tidak terkait langsung dengan puasa, namun makna dan kandungan ayat ini menyiratkan prilaku berlebihan dalam makan dan minuman baik dalam bulan ramadhan maupun bulan-bulan lainnya tidak disukai oleh Allah. Dan apalagi hidangan makanan dan minuman tersebut didapat atau mengandung sarana-saran haram, maka kita sudah melakukan perbuatan yang dzolim.
Berbuka puasa, dengan makanan dan minuman yang tampak lahiriyahnya berkualitas dan halal, dan dilakukan dengan ketaatan kepada perintah Allah swt, pasti memiliki fisik yang diperlukan untuk beribadah selanjutnya dalam ibadah bulan ramadhan.
Berbuka puasa, merupakan dari sebuah prilaku dalam menjalankan puasa, maka dalam puasa ini sikap mental dan akhlak serta adab makan dan minum mesti mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw. Dan jangan sampai kita mengikuti sifat dan karakter binatang yang tidak mengukur berlebihan atau tidak. Dan inilah perberbedaan prilaku manusia dan binatang, manusia masih memiliki kebutuhan dasar manusiawi, sementara binatang tidak memiliki hal tersbut.
Nabi muhammad, telah memberikan anjuran dan solusi yang baik bila kita makan dan minum, apalagi organ tubuh kita seperti perut manusia tidak memiliki kantong (lambung) yang besar, sehingga apa saja makanan dan minuman masuk ke dalam perut. Nabi memberi saran yang baik buat kesehatan, bahwa perut harus diisi dengan, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air (minum), dan sepertiga terakhir untuk udara.
Berbuka puasa, yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw, adalah dengan makanan-makanan yang mengandung manis-masnisan, bukan yang mengandung manisan gula. Nabi menganjurkan memakan kurma tiga biji, karena kurma memiliki kadar glukosa untuk menambah darah yang rendah, dan juga meminum susu.
Ada sebuah pengalaman perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dengan para sahabat, dan beliau ketika itu sedang melaksanakan puasa bulan ramadhan, suatu ketika hari sudah mulai bernjak sore, dan mendekati malam.
Lalu Rasulallah saw memerintahkan kepada sahabatnya untuk berhenti dan mencampuri roti dengan susu”
Sahabat berkata “Yaa Rasulallah masih ada matahari”
Lalu Rasul berkata “Berhenti dan campuri roti dengan susu”
Sahabat berkata : Ya rasulallah masih ada matahari”
Rasul berkata lagi : “berhenti dan campuri roti dengan susu”
Lalu laki-laki itu berhenti dan mencampuri roti dengan susu untuk nabi
Lalu nabi minum dan menunjukan isyarat dengan tangan beliau ke arah timur.
Kemudian rasul berkata : apabila kamu melihat malam datang dari sini, maka sesunguhnya telah berbuka orang-orang yang puasa” (HR. Bukhori)
Dari pengalaman perjalanan Nabi Muhammad saw dengan sahabat-sahabatnya, tentu kita mendapat pelajaran yang sangat berharga, yaitu makanan yang dibawa oleh Nabi hanya roti dan susu sebagai minumannya, makanan dan minuman ini tentu sangat sederhana namun memiliki nilai gizi yang tinggi. Dan dalam perjalanan ini pula terindikasi, bahwa berbuka puasa harus disegerakan karena nabi sudah melihat tanda-tanda sudah berbuka puasa.
Jadi berbuka puasa memiliki nilai yang sangat, selain untuk memenuhi batalnya puasa, namun juga ada nilai-nilai kesehatan bagi organ manusia, sehingga orang yang melakukan berpuasa dapat melanjutkan dengan ibadah-ibadah lainnya.

MARHABAN YA RAMADHAN

Oleh :

Uib Sholahuddin Al Ayubi, MA[1]

Setiap awal atau sehari sebelum ramadhan, elemen ummat Islam bangsa Indonesia, baik perorangan, ormas, dan bahkan pemerintah sendiri sibuk menentukan awal ramadhan, melalui sidang istbat penentuan awal ramadhan di masing-masing tempat. Terkadang penentuan awal ramadhan ada yang sama, dan ada pula yang berbeda, sehingga ummat Islam Indonesia ada yang melaksanakan puasa sehari sebelumnya dan esok harinya. Namun demikian, hal ini bukan menjadi perbedaan yang meruncing sehingga menimbulkan konflik, malahan perbedaan inilah yang menjadikan ummat Islam kaya akan wawasan keilmuan tentang ilmu astronomi, dan Ilmu Falak. Sehingga mereka para ilmuwan maupun para ulama, baik yang menggunakan teknolgi canggih maupun hanya hitung-hitungan ilmu falak, bahkan hanya ru’yat saja (melihat dengan mata telanjang tergelincirnya matahari dan munculnya bulan). Karena itu Rasulallah Saw bersabda : berpuasalah saat melihatnya (bulan ramadhan), merupakan sekelumit kesibukan suka ria awal ramadhan.
Terlepas dari semua itu, setiap awal ramadhan umat Islam sibuk menyambutnya dengan suka ria, baik di masjid-masjid, pasar-pasar maupun di media massa (elektronik dan cetak), yang satu sama lainnya saling menyambut ramadhan. Media elektronik sebut saja televisi dan radio banyak sekali menayangkan program-program unggulan terkait dengan ramadhan, bahkan salah satu tv swasta sebulan sebelum ramadhan sudah menayangkan program unggulannya, seperti sinetron religi.
Aura bulan ramadhan memang berbeda dari bulan-bulan sebelumnya, karena memang bulan ramadhan, adalah bulan yang di dalamnya diturunkan kitab suci al-qur’an sebagai petunjuk dan penjelasan dan pembeda (antara yang hak dan batil) bagi manusia (QS. Al-Baqarah/2 : 185). Sehingga ummat Islam selalu menunggu bulan ramadahan karena bulan ramadhan turunnya al-qura’an. Menunggu karena ada yang datang yaitu bulan ramadhan, ummat Islam selalu menyambutnya dengan kata Marhaban Ya Ramadhan. Kata marhaban dalam kamus besar Indonesia, diartikan sebagai penyambutan atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang), yang sama artinya dengan ahlan wa sahlan. Walaupun dalam pengertiannya sama selamat datang, namun para ulama tidak menggunakan dengan kaliamt ahlan wa shalan melainkan menggunakan dengan “Marhaban Ya Ramadhan”. Marhaban berasal dari kata rahb yang berarti “luas” atau “lapang”, sehingga tamu disambut dengan lapang dada dan suka ria, dan dipersiapkan ruang dan tempat yang luas untuk melakukan apa saja yang dikehenedaki.
Bulan ramadhan, dalam bahasa Arab disebut syahru ramadhan. Kata syahr berasal dari kata syahara yang berarti muncul. Bila orang yang mencabut pedang dari sarungnya adalah syahara al-syaif (dia membuka pedangnya), atau orang Arab mengatakan syahra al’amru (perkara itu tampak jelas). Jadi syahr menunjukkan sesuatu yang terbuka dan kemudian tampak, sehingga dikenal, dimana mulanya sesuatu itu tersembunyi, tidak tampak dan tidak dikenal. Karena itu juga kita kenal dengan kata atau hadits masyhur yang berarti terkenal dan populer. Oleh karena itu umat Islam di Indonesia tidak salah jika awal ramadhan beramai-ramai untuk menyaksikan awal mula yang akan muncul, yaitu bulan, dalam hal ini dikenal dengan metode ru’yat.
Karena itu, al-Asfihani sebagaimana dikutip oleh W. Abdul Gafur, mengemukakan bahwa syhar adalah masa yang dikenal karena munculnya bulan. Karena itu, dalam al-qur’an kata syahr dapat diartikan 1) digunakan dalam pengertian bulan ramadhan, 2) atau juga dalam ungkapan siapa diantara kamu yang menyaksikan bulan, dan 3) digunakan dalam pengertian waktu dalam haji itu dilakukan pada waktu atau bulan-bulan tertentu.
Kata ramadhan yang hanya disebut satu kali dalam al-qur’an (yaitu, QS. Al-Baqarah/2 : 185). Kata ini berasal dari ramdi yang artinya panas matahari yang menyengat. Karena memang bulan ramadhan adalah bulan berpuasa tidak minum dan makan, sehingga terasa kita kehausan dan merasa panas dalam menjalani puasa ramadhan.
Puasa dalam al-qur’an menggunakan kata shiyam. Kata ini dalam al-Qur’an disebut delapan kali, yang semuanya dalam arti puasa menurut pengertian syariat, sesekali al-Qur’an menggunakan kata shaum, yang maknanya menahan diri untuk tidak berbicara (QS. Maryam/19:26) “sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun”. Maryam diajarkan oleh malaikat Jibril AS, bila ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya, Nabi Isa AS.
Shuaman sesekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, dan juga sesekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untuk kamu” dan sekali menunjukan kepada para pelaku puasa baik pria maupun perempuan, yaitu ash-shaimin wash-shaimat. Maka puasa maknanya dalam hukum syariat, adalah menahan diri dari makan, minum dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun demikian, hakikat puasa adalah menahan atau mengendalikan diri, dan tentunya beresikap sabar.
Puasa bulan ramadhan termaktub dalam surah al-baqarah/2 : 183, 184, 185, dan 187. para ulama tafsir bersepakat bahwa surah al-baqarah turunnya di Madinah, yang artinya kewajiban puasa ramadhan setelah nabi, hijarh di Madinah. Maka para sejarawan menilai pelaksanaaan puasa bulan ramadhan ditetapkan Allah pada tahun kedua Hijrah.
Maka dalam menghadapi bulan puasa, persiapan apa bagi ummat Islam untuk menyambut bulan ramadhan, agar puasanya berhasil dan memberi manfaat bagi dirinya dan terhadap orang lain serta lingkungan sosialnya. Paling tidak untuk persiapan puasa bulan ramadhan, adalah mental-psikologis, fisik dan persiapan intlektual. Secara mental-psikologis, stidaknya kita sudah siap menyambut bulan ramadhan dengan suka ria, dan mempersiapkan pembersihan diri dan bertaubat. Secara fisik, kita dapat mampu menjaga tubuh kita dengan memakan makanan yang bergizi, dan sehat. Secara intlektual tentunya kita dalam bulan ramadhan harus diisi dengan wawasan-wawasan keilmuwan kita.
Salah satu kebiasan Rasulallah, dalam rangka menyambut ramadhan adalah jarang meninggalkan sajadah dan berusaha menyelesaikan segala urusan duniawi sebelum memasuki bulan ramadhan. Untuk melakukan semua itu rasulalllah selalu berpuasa sunnah dan shalat dan memperbanyak zikir kepada Allah. Aisyah menceritkan : saya tidak melihat Rasulallah menyempurnakan puasanya kecuali dalam Ramadhan dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan sya’ban (HR. Muslim). Kebiasaan Rasulallah itu, bagi kita patut kita tiru dengan tujuan agar dibulan ramadhan terbiasa dengan amalan-amalan ramadhan.
Marhaban Ya Ramadhan ... Selamat berpuasa....
[1] Dosen Fak. Ushuluddin dan Dakwah dan Tenaga Penelti LPM IAIN SMH Banten, sedang menyelesaikan S3 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidaytullah Jakarta.