25 Maret 2008

ISLAM DAN TRADISI LOKAL BANTEN (Studi Ritulitas Panjang Mulud di Serang Banten)

Oleh
Uib Sholahuddin Al Ayubi, MA
A. Pendahuluan
Islam, yang lahir pada abad ke VII di Arabia, tak diragukan lagi merupakan salah satu dari reformasi agama yag paling radikal yang pernah muncul di kawasan Timur, dan kitab suci al-quran yang merupakan kitab autentik yang paling awal dari peristiwa besar ini, yang mampu menjelaskan istilah-istilah kongkret dengan gamblangnya bagaimana dalam dalam priode penting tersebut ternjadi konflik yang banyak menumpahkan darah antara norma-norma suku yang saat itu dihormati dengan pandangan hidup baru tersebut. Arabia pada masa tersebut merupakan masa penyembahan terhadap berhala-berhala pra Islam hingga datangnya Islam, adalah masa yang paling penting bagi siapapun yang mempunyai kepentingan dengan masalah-masalah pemikiran etik, karena memberikan materi suatu kasus baik sekali untuk mempelajari munculnya peraturan moral, yang mungkin kontradiktif bagi tradisi kehidupan bangsa Arabia pada masa itu.[1]Tradisi pagan pada zaman jahiliyah (kebodohan) sebelum munculnya Islam, serta pandangan-pandangan aneh yang berkaitan dengan kepercayaan merajalela pada orang-orang Arab Nomadik, tradisi dan kepercayaan tersebut tentunya ditolak oleh Islam karena bertentangan dengan wahyu, namun tradisi dan pandangan masih tetap dipertahankan dan digunakan melalui perubahan bentuk, subtansi dan diberi sifat yang lebih bermakna Islami.[2]Sementara itu, sebelum datangngnya Islam ke wilayah Asia Tenggara khusunya di wilayah kepulauan Indonesia, telah terjadi interaksi sikap etik agama-agama, yaitu agama Hindu dan Budha dan dicampurkan dengan agama kepercayaan anak negeri sendiri. Namun dalam kajian-kajian yang dilakukan oleh orang-orang Barat bahwa agama Hindu Budha yang muncul di Indonesia, yang sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakatnya, adalah merupakan amalan lapisan tipis struktur masyarakat. Agama-agama ini hanya diamalkan oleh para raja-raja dan bangsawan, sementara rakyat jelata mengambil sikap tidak peduli terhadap ajaran-ajaran agama tersebut.[3]Penganut agama tersebut, perihal pemahaman agamanya tidak benar-benar paham akan agamanya, melainkan hanya sebatas mementingkan persoalan-persoalan dengan ritualitas (tata upacara) keagamaan yang membesarkan keagungan dewa-dewa saja untuk kepentingan mereka sebagai penjelmaan dewa, dan memperkukuh kedudukan, serta golongan raja-raja dan bangsawan pada lapaisan struktur masyakat.Pengaruh agama Hindu Budha terhadap mayarakat Indonesia terutama dalam pengorganisasian politik, ekonomi, sosial dan keagamaan ini merupakan aspek terpenting inernasionalisasi. Karena inilah muncul berbagai kerajaan Hindu dan Budha di suluruh pulau. Dari aspek keagamaan Hindua-Budha, dengan berbagai variasi dan aliran keagamaan, merupakan suatu hal yang sangat penting. Bahkan bisa dikatakan bahwa, pada dasarnya, agama-agama itulah yang memberikan dasar bagi pembentukan sistim sosial politik dan ekonomi di Nusantara.[4]Namun keberhasilan Islam pada abad ketujuh sampai ketigabelas yang menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia serta menjadikan dirinya sebagai agama utama bangsa ini merupakan suatu prestasi luar biasa. Proses penyebaran agama hanya sebatas ketekunan tenaga da’i-pedagang atau seorang guru sufi. Namun hal ini masyarakat Indonesia tidak seluruhnya menerima Islam, mereka bahkan ada yang menolaknya, dan juga ada yang menerima dan masih mempertahankan kepercayaan yang lama.[5]Penyebaran agama Islam, memang hanya terbatas pada wilayah yang dekat dengan daerah semenanjung pantai merupakan suatu kepentingan yang tidak terelakan karena posisi pantai merupakan posisi yang strategis. Terutama kerjaan-kerajan pantai di Jawa, yaitu Demak, Giri, Cirebon, dan Banten.Pada abad ke-16 Masehi agama Islam menyebar di Banten, hingga puncak kejayaannya berdiri kearajaan Islam di Banten, dengan sultan yang pertama yaitu Sultan Maulana Hasanuddin (1526 - 1570 M). Islam pada masa ini cenderung bersifat introduction (perkenalan) saja, hanya sebatas pada tatanan aqidah (kepercayaan).[6]Proses penyebaran Islam di Pulau Jawa, banyak sarjana Barat berpendapat bahwa penyebaran Islam di pulau Jawa telah terjadi proses sinkretisasi yang cukup kentara antara ajaran Islam dan ajaran-ajaran Hindu.[7] Sinkrititisme yang dikembangakan oleh sarjana Barat, merupakan kenyataan, secara geografis Indonesia jauh dari Timur Tengah. Karena sangat tidak mungkin dapat mewujudkan kemurnian Islam di Indonesia. Dengan kata lain campurnya ajaran Islam dengan ajaran lokal bisa terjadi dan tidak terelakan lagi, hal ini pula terjadi pada ajaran-ajaran Islam di bumi Banten. Karena sebelum muncul Islam di Banten sudah tertata sistim kerajaan agama Hindu, yaitu seperti raja-raja Purnawarman, Pakuan dan Banten Girang.Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan waktu terbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat, bahkan perbedaan ritual yang dilakukan.Perbedaan-perbedaan dalam melakukan ritualitas keagamaan seperti melakukan tradisi sakaten, di Yogyakarta, di wilayah Banten Khusunya di Serang tradisi ritual seperti Muludan (Panjang Mulud, ngeropok), hal ini dilakukan juga oleh masyarakat Banten, dan tradisi ini tidak ada perbedaan istilah yang kentara.Gambaran di atas menunjukan bahwa Islam dan tradisi ritualitas di Banten suatu fenomena yang menarik untuk di kaji, karena ritualitas keagamaan seperti muludan di sekitar kita adalah hal yang menrik untuk diteliti.B. Kerangka PemikiranIslam datang ke Indonesia begitu cepat terserap khusunya di pulau Jawa, memang tidak dapat dilepaskan bagitu saja dari akar sejarah dan budaya masa lalu. Budaya agama Hindu realtif tinggal sedikit, sedangkan Islam mencapai kesuksesan yang luar biasa.Spiritualitas Islam abad ke 15 dan 16 di tanah Jawa tampak masih dapat dibaca, dengan literatur spiritualtas yang bersifat sufistik, yaitu penekanan keberagamaan corak tasawuf pada bentuk-bentuk kesalehan pribadi, berpola asketik, yaitu menahan diri dari gelombang kehidupan yang bergelimang kemewahan.Pada abad ke 19, Islam telah tersebar menjadi agama yang dianut oleh kedua lapisan struktur masyarakat yang ada. Sejak itu pada umumnya, masyarakat Indonesia telah menerima Islam sebagai agama mereka. Dengan diterimanya Islam sebagai agama mayoritas masyarakt Indonesia, muncul asumsi kuat bahwa Islam telah berhasil manguasai dasar-dasar ajaran Hindu Budha yang bersifat mistik atau spiritual animistik. Dengan demikian Islam di Indonesia tetap berbeda dengan Islam yang berada di Timur Tengah.Ada beberapa faktor utama mempercepat proses perkembanagan agama Islam di Indonesia, yaitu [8] ; Pertama, karena ajara Islam menekankan prinsip ketuhidan dalam sistim ketuhanannya, suatu prinsip yang secara tegas, menekankan ajaran untuk mempercayai Allah. Dan pada konsekwensi ajaran tauhid ini, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan. Kedua, fleksibiltas ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai universal. Dengan dengan demikian, ajaran Islam dapat berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis situasi kemasyarakatan. Karena karakter ajaran Islam yang demikian, maka Islam tidak secara serentak menggantikan seluruh tatanan nilai yang telah berkembang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum datangnya Islam. Ketiga, Islam oleh masyarakat Indonesia sendiri dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk mengahadapi dan melawan ekspansi pengaruh Barat. Keempat, di Jawa dikenal dengan para sufinya yaitu disebut Walisongo yang dalam perkembangannya Islam di Jawa, memainkan peranan amat dominan. Mereka dikenal dengan kelenturannya dalam mengajarkan agama Islam dengan meneguhkan tradisi-tradisi lokal, terutama ajaran mistikisme lama yang berasal dari ajaran Hindu, yang memang banyak mempunyai persamaan dengan ajaran mistikisme Islam.Sampai di sini sinkretisme Islam di Indonesia dapat diterjemahkan, yaitu bercampurnya ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia sejak sebelum datanya Islam, dan sinkretisme Islam dalam pengertian bahwa ajaran Islam telah bercampur dengan nilai-nilai serta tradisi masyarakat pendatang, yaitu para pedagang dari Persia dan India.Ernest Gellner dalam bukunya Muslim Society, mengatakan bahwa hanya Islam bertahan hidup sebagai suatu keyakinan serius yang meliputi baik tradisi Besar maupun tradisi rakyat. Tradisi yang besar dapat dibuat modern, pelaksanaannya dapat diterapkan bukan sebagai sebuah inovasi atau konsesi.[9] Inovasi tradisi Islam yang dikembang dengan tradisi lokal merupakan fleksibilitas Islam sebagai agama.Karakter yang dimiliki masyarakat lokal dalam mengembangkan tradisi muludan yaitu tentunya melalui proses budaya yang panjang. Secara harfiyah muludan adalah kelahiran, namun dalam tataran berikutnya tradisi seperti ini justru berkembang berbeda-beda di wilayah tertentu. Sehingga pelaksanaan tradisi muludan di Banten memiliki nilai, norma, simbol yang khas, bahkan dapat dibuat dengan menyusaikan kehidupan modern dalam pelasanaannya.Di wilayah Banten, dalam pelaksasanaan muludan tidak terlepas dengan motivasi-motivasi, dorongan-dorongan, norma-norma agama, dan prilaku. Dan tradisi ritual muludan ini mengembangkan persembahan, penampilan, seta tata cara yang berbeda. Selain itu tradisi ritual ini memiliki norma dan etika dalam pelaksanaannya. nan amat dominanam di JAwa,walisongobagai suatu institusi yang amat dominan untuk mengahdapi dan melawan ekspansiKajian Teoritis Islam, Tradisi, Ritual Dan MuludanA. Pengertian Islam, Tradisi, dan Rituala. Pengertian IslamAgama adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam membentuk pandangan dunia (world view) masyarakat dalam mempresepsi kehidupan. Presepsi manusia tentang kehidupannya mempengaruhi perkembangan dunia dan perjalanan sejarah peradaban manusia. Dan agama banyak mempengaruhi manusia dalam memandang dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Karena itu perkembangan suatu peradaban manusia tidak dilepaskan dari sistim nilai atau kepercayaan yang dianut masyarakatnya. Sulit dibayangkan adanya suatu peradaban tanpa adanya suatu nilai atau kepercayaan yang dianggap benar dan dijadikan panduan oleh masyarakat tersebut.[10]Islam adalah kata jadian Arab, asal katanya yaitu aslama, kata dasarnya salima, yang berarti sejatera, tidak bercacat. Dan kata masdharnya adalah selamat. Dalam bahasa Indonesia menjadi selamat, sehingga ketika umat Islam dalam menjalankan ritual ibadahnya, selalu mengucapkan selamatan. Namun disitilahkan Islam adalah patuh, taat, dan berserah diri kepada Allah. Dengan kepatuhan, dan penyerahan diri secara menyeluruh (tanpa reserve) iu terwujudlah salam dalam kehidupan baik di dunia dan akhirat.[11] Maka bagi penganutnya disebut muslim, yaitu kaum yang berserah diri pada (Tuhan), hal ini sebagaimana tercantum dalam al-Quran al-Baqarah/2:128.Muslim, artinya adalah “orang yang tunduk”, sehingga, apabila pengertian ini dikaitkan dengan Islam, sebagai nama sebuah agama, maka Islam dapat diartikan sebagai “agama orang-orang yang tunduk”, yaitu tunduk pada kehendak Tuhan (submission to God’s will).[12] Tunduk merupakan ketaatan, dan ketaatan serta kepatuhan kepada Yang Lebih Tinggi merupakan perasaan dan keyakinan alamiah manusia.Menurut Rudolf Otto,[13] bahwa sejarah perdaban manusia, selalu ada kecenderungan alamiah manusia untuk meyakini, sebut saja numinous, yaitu suatu perasaan dan keyakinan terhadap adanya Yang Maha Kuasa, Yang Lebig Besar, Yang Lebih Tinggi, yang tidak bisa dijangkau dan dikuasasi oleh akal manusia.Islam, seperti apa yang dikatakan Bernad Lewis,[14] itu terdapat tiga presepsi, Pertama, Islam sebagaimana terwujud dalam al-Quran dan Hadits, hal ini adalah sebagai konsep hidup. Kedua, Islam sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama, yaitu dalam wujud ajaran atau doktrin yang disistimatiskan melalui proses interpretasi terus menerus untuk mencapai kesapaklatan (ijma). Ketiga, Islam dikenal sebagai konsep Islam-sejarah (historical Islam). Praktik-praktik kehidupan masyarakat, hukum, negara dan kebudayaan, maka Islam yang nampak adalah yang nyata perwujudannya dalam sejarah. Islam dengan bentuk kata jadiannya aslama yang berarti “menyerahkan diri”. Dalam al-Quran dijelaskan dalam surah al-Baqarah/2 : 112 “Ya, Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan ia berbuat baik, maka ia mendapat pahalanya pada Tuhannya dan tidak ada ketakutan kepadanya dan tidak ia berduka cita”. Selain makna Islam secara harfiah, Islam dapat dilihat maknanya dalam hadits yang menunjukkan bahwa orang-orang yang menganut Islam, adalah saudara. “muslim bersaudara dengan sesama Muslim, tidak bertindak zalim dan tidak dizalimi”.Dalam petikan hadits di atas memberikan penjelasan tentang subtansi Islam dan bukan kata Islam. Keislaman ini ditunjukan oleh perkataan dan perbuatan. Islam juga sesuatu yang dihasilkan oleh perkataan dan perbuatan, misalnya persaudaraan, kesejahteraan, dan perdamaian.[15]Dalam kitab Sahih Muslim, diawali dengan riwayat tentang arti kata Islam, sekaligus juga kata Iman dan akhirnya Ihsan. Inilah trilogi ajaran Islam dalam prespektif perbandingan maknanya kata iman dan ihsan.b. Pengertian TradisiKiranya itilah “tradisi” bagi kehidupan sehari-hari bagi masyarakat sudah kenal betul, Seperti tradisi mudik ketika lebaran Idul Fitri tiba, tradisi masyarakat nelayan sebelum berangkat melaut yang disebut nyadran, dan tradisi buka pintu dalam perkawinan di Serang Banten, dan lain sebagainya. Tradisi ini bagi masyarakat setempat merupakan presepsi sendiri, dan biasanya tradisi juga menunjukan norma, etika, dan simbol-simbol tertentu.Setidaknya ada dua istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan, baik ataupun jelek, sudah lama dan mengakar kemudian masih dilakukan oleh orang-orang sesudahnya. Prilaku itu lebih tampak lagi bila ada jejak-jejak atau bekas yang dapat ditelusuri asal-usulnya, meskipun tidak selalu dapat ditemukan sehingga menjadi warisan yang masih dapat dipelihara, dijaga ataupun diteruskan. Itilah-istilah tersebut adalah adat-istiadat atau tradsi.Secara etimologis tradisi berasal dari kata latin traditum, yaitu sesuatu yang dapat diteruskan (transmitted) dari masa lalu ke masa sekarang.[16] Menurut G Kartasapoetra, dan Kartini, mengatakan bahwa tradisi yaitu kebiasaan berupa adat istiadat yang selalu dipelihara turun temurun yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan.[17] Jadi tradisi merupakan warisan yang diturunkan pada generasi berikutnya untuk dilakukan terus-menerus.Tradisi juga dapat diartikan dengan adat-istiadat. Adat istiadat secara harfiyah berarti praktik-praktik yang berdasarkan kebiasaan, baik perorangan maupun kelompok, praktek kebiasaan jelek maupun baik. Misalnya kebiasaan makan pagi, sholat dhuha, bangun malam, datang ke pertemuan tepat waktu, dan lain-lain. Kebiasaan lainnya yang bersifat kolektif, misalnya syawalan, kenduri, nyadran (sedekah), muludan, sakaten, dan lain-lain.[18]Kebiasaan praktik hidup seperti di atas, tanpa disadari berubah menjadi konvensi yang dilakukan dan ditetapkan tanpa melalui proses kespakatan bersama, tetapi dianggap sebagai prilaku bersama. Kebiasaan berubah menjadi konvensi, karena dilakukan secara berulang-ulang, turun-menurun, meskipun tanpa hubungan yang rasional. Karena dilakukan berulang-ulang, maka kebiasaan itu menampakkan jeleknya atau ada bekasnya, sehingga dapat dilihat dan ditiru oleh orang lain yang bahkan mungkin tidak sezaman dan satu tempat. Dan inilah disebut asar.[19]Asar adalah petunjuk atau tanda adanya sesuatu. Karena itu, asar secara sederhana diterjemahkan dengan “bekas sesuatu” yang dapat dilihat atau diamati. Sementara tradisi adalah nilai-nilai aturan perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain tradisi adalah nilai yang diberikan pada suatu kebiasaan atau adat istiadat, baik kebiasaan jelek maupun baik.[20]Namun ada kemungkinan di masyarakat muslim terdapat akultrasi adat-istiadat timbal balik antara Islam dan budaya lokal, hal ini juga dapat diketahui dalam suatu kaedah ushul fiqh, yaitu “adat itu dihukumkan” artinya al-adah muhakkamah, atau juga “adat adalah syari’ah yang dihukumkan” artinya al-adah syari’ah muhakkamah, yang artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, yaitu sumber hukum dalam Islam.[21]Dalam bahasa kaedah ushul fiqh lainnya, dapat ditemukan adat istiadat atau tradisi tersebut diwakili oleh urf. Urf secara etimologis berasal dari akar kata yang sama dengan al-ma’ruf.[22] Akan tetapi berbeda dengan adat istiadat dan tradisi, kata urf hanya digunakan untuk menggambarkan adat-istiadat dan tradisi yang baik menurut ukuran masyarakat dan tidak bertentangan dengan syari’ah.[23]Ada sedikit perbedaan yang nampak dalam menyikapi kata tradisi, yang akhirnya muncul kata tradisionalitas, dan tradisionalisme. Suatu tradisi belum tentu semua unsurnya tidak baik, maka harus dilihat dan diteliti mana yang baik untuk dipertahankan dan diikuti. Sedang tradisionalitas, adalah pasti tidak baik, karena ia merupakan sikap tertutup akibat pemutlakan tradisi secara keseluruhan, tanpa sikap kritis untuk memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk.[24]Karena itu bagi banyak orang tidak jelas memahami perbedaan “tradisi” dan “tradisionalitas” itu, maka sering muncul pandangan dikotomis antara “tradisi” dan “modernitas”. Selanjutnya dalam pandangan, bahwa “tradisi” bertentangan dengan “modernitas”, atau sebaliknya “modernitas” selalu bertentangan dan melawan dengan “tradisi”.[25] Sementara itu pula masyarakat Barat menganggap modernitas, atau modernisme, didefinisikan dengan fikiran, aliran, gerakan, serta usaha-usaha untuk merubah faham-faham, adat-istiadat, institusi-institusi lama, sesuai dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi modern.[26]Sementara kata tradisionalisme, lebih menunjukkan sikap atau kecenderungan sesorang untuk melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan tradisi masa lalu atau mengikuti pekerjaan nenek moyang.[27] Tradisionalisme bila dipadankan dengan makna sikap dan faham tradisionaal maka dapat melahirkan suatu sikap cenderung selalu memegang teguh tradisi warisan masa lalu, biasanya dapat dijumpai pada orang-orang atau masyarakat yang justru tidak mengenal dengan baik tentang arti warisan masa lalu. Mereka cenderung mengikuti aturan yang sudah baku tersebut tanpa kritis apa maksud dan tujuan yang mereka kerjakan.c. Pengertian RitualRitual adalah teknik (cara, metode, praktek) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, kata-kata seperti "amin" dan sebagainya. Menurut Riaz Hasan,[28] ritual merupakan bagian integral dari agama formal. Ia mencakup praktik-praktik keagamaan termasuk ibadah dan hal-hal yang dilakukan manusia dalam melaksanakan perintah agamanya. Salah satu ritual yang paling kuno adalah ziarah (ziarah kubur, naik haji, dan lain-lain), upacara penyucian, pembersihan, lalu upacara inisiasi (masuk, misalnya masuk manjadi anggota, hamil 7 bulan, masuk akil balik, dan lain-lain). Namun bentuk yang paling lebih modern adalah doa, bacaan bersahutan, dan lain sebagainya. Ritual pertamanya sering bersifat sosial, kemudian menjadi ekonomis, lalu berkembang menjadi tatacara suci agama.Semua agama berisikan ritual, do’a, puja-puji, dosa, dan ketakwaan, meski peneknan yang diberikan berbeda atas nilai-nilai tersebut. Dalam analisis sosiologis, ritual dianggap memainkan peran penting dalam mempertahankan institusi, komunitas, dan identitas agama. Partisipasi dalam rituaal kolektif keagamaan berperan sebagai sosialisasi individu untuk menerima secara tidak sadar nilai-nilai kebersamaan dan kategori pengetahuan dan pengalaman.[29]Dalam hal ini pula definisi agama menurut Durkheim[30] adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang suci kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat suci" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.Suatu agama selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, kedua, praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya. Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang suci dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kesucian" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "suci" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang suci. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.[31]Namun demikian, analisis ritual agama dapat dilakukan paling tidak melalui dua cara. Pertama, dengan membedakan individu dalam prekuensi mereka melakukan aktivitas ritual. Kedua, memfokuskan pada makna ritual bagi individu yang melakukannya. Analisis yang dilakukan disini akan memfokuskan pada cara yang pertama, namun juga beruasaha untuk membahas pernyataan tentang makna.[32]Islam merupakan agama yang kaya dengan ritual. Kaum muslim diperintahkan untuk melaksanakan ritual-ritual tertentu sebagai ungkapan kepercayaan mereka. Ritual-ritual seperti shalat lima waktu dan wudhu sudah menjadi dan masih merupakan hal yang paling penting dalam membangun rasa keberagamaan di kalangan masyarakat muslim. Frekuensi dalam melaksanakan ritual merupakan indikator penting untuk melihat tingkat keberagamaan sesorang. Jadi, ritual berikut ini dipilih untuk menguji dimensi ini : melaksanakan shalat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, dan mengeluarkan zakat. Analisis difokuskan pada prekuensi dan ketarturan pelaksanaannya. Salah satu asumsi yang ada adalah bahwa ritual-ritual ini saling berhubungan baik pada tingkat individu maupun kelompok masyarakat.Namun demikian ritual cenderung untuk menjadi pengganti agama. Ini bahaya untuk agama yang cenderung berpusat pada ritual. Orang hanya mengikuti ritual tanpa tahu dan menghayati keimanan dan perkembangan kerohanian dengan baik. Ritual menjadi kebiasaan, menjadi agama tersendiri. Oleh karena itu ritualitas memiliki hambatan, seperti : 1). menghambat perkembangan kerohanian. Sulit mengembangkan kerohanian dan perbaikan doktrin bila agama dipenuhi oleh ritual dan dikuasai para imam ritual. 2). Menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Ini telah terbukti sepanjang sejarah manusia, yang mengatakan ritual-ritual yang panjang dan melelahkan telah menjadi kutuk bagi bangsa-bangsa selama ribuan tahun. 3). Ritual bisa berpotensi menolak pembaruan dan kebenaran.Ritual ada pula dampak positifnya : 1). Stabilisasi peradaban. Misalnya di bangsa-bangsa yang memeluk Islam, terlihat lebih stabil dengan adanya keseragaman ritual. 2). Peningkatan jenis budaya tertentu. Kita melihat misalnya di Bali, ritualnya bermanfaat bagi turisme dan pengembangan seni). 3). Membantu pengendalian diri manusia.B. Karakteristik dan Pencitraan Masyarakat TradisionalKetika Islam hadir (dengan turunnya al-Quran), Islam berhadapan dengan tradisi atau budaya yang sudah mapan. Islam atau al-Quran tidak lahir dalam masyarakat hampa budaya. Turunnya al-Quran terkadang juga sebagai respon atas budaya atau tradisi yang ada sebelumnya.Hal ini pun terjadi Islam di Indonesia, meskipun bangsa muslim terbesar di dunia. Indonesia adalah bangsa yang paling sedikit mengalami Arabisasi dibanding negara-negara muslim besar lainnya. Di samping itu proses Islamisasi di Indonesia berlangsung dalam cara yang sering disebut sebagai penetration pasifique (penetrasi secara damai), terutama oleh para pedagang-cum-dai (pendakwah). Hasil dari Islamisasi seperti inilah membawa praktik sinkritisme yang luas dikenal di Indonesia.[33] Dari praktik sinkritisme ini timbul salah satu indikasi yang mempertahankan penanggalan Hindu, yaitu dengan tahun saka. Tidak hanya penanggalan praktik-praktik tradisi ritualitas nenek moyang pun masih dipertahankan di masyarakat luas.Karena itu karakteristik masyarakat tradisional, seperti halnya yang dikemukakan oleh Nasrul Luth,[34] terdapat tiga karakter, yaitu Pertama, secara geografis masyarakat tradisional berada di wilayah pedalaman suatu daerah yang terpencil jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, masyarakatnya bersifat homogen, cenderung fanatik terhadap aturan bersama dan mengikat satu sama lainnya. Ketiga, cenderung esklusif menutup hal-hal baru yang datang kepada mereka, terikat dengan aturan, norma dan kebiasaan yang mereka lakukan.Berbeda dengan Ernest Gellner sebagimana yang dikutip oleh Riaz Hasan, yang mengembagkan tipologi tradisi-tradisi atau model masyarakat tradisional dan modern dalam Islam yang ia sebut, Pertama, Islam Tinggi (high Islam) yang dibawa oleh sarjana perkotaan berpendidikan, dan umumnya dari kelas borjuis pedagang, yang merefleksikan keinginan dan nilai-nilai kelas menengah kota. Islam Tinggi bersifat skriptualis, menekankan hukum, puritan, literal, sederhana, egalitarian, dan anti ekstasisme. Kedua, Islam Rakyat (folk Islam), yaitu muslim dari massa rakyat, terutama masyarakat desa dan anggota suku, sebagian besar tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Kelompok ini dipengaruhi oleh kebutuhan dan tingkat kecenderugan mereka secara mendalam. Mereka percaya khurafat, suka ekstasisme, hirarkis, suka tawasul, dan sifat lembaganya adalah adanya pemujaan kepada wali.Senada juga apa yang dikatakan oleh Kontjraningrat,[35] bahwa di masyarakat tradisional masih terdapat dan berlakunya penghormatan yang berlebihan terhadap suatu ajaran nenek moyang, dan juga masih bersikap fanatisme berlebihan terhadap individu-individu masyarakat seperti tokoh masyarakat, ulama, kiyai, ahli adat, kepala suku dan lain sebagainya yang dianggap dan diperlukan sebagai satu-satunya orang dan sebagai tempat meminta nasihat atau petuah-petuah.Namun kedua tradisi Islam ini berhubungan dengan ciri yang spatial (berhubungan dengan tempat) yang dominan dari struktur masyarakat muslim, yakni kota dan desa. Islam Tinggi bisa dikatakan bukan dari sebuah kelanjutan dari pengabdian Islam yang murni dari Nabi Muhammad SAW., dan para sahabatnya, tetapi sebuah tradisi yang menempati kedudukan yang tinggi dalam peradaban muslim. Sementara Islam Rakyat merupakan kebutuhan struktural, tradisi ini memerankan peran yang dominan dalam sejarah masyarakat muslim.[36]Kedua tradisi ini hidup berdampingan dalam lingkungan yang ramah, tetapi selalu ada ketegangan dari waktu ke waktu dalam bentuk gerakan pembaruan puritan, yang bertujuan untuk mengubah tradisi kerakyatan menjadi pencitraan tradisi yang tinggi. Sehigga ada sebuah mekanisme membersihkan diri (self purifying), dan membenarkan diri (self rectifying). Fazlur Rahman, berpendapat dengan tipologi masayarakat Islam, ia sebut dengan Islam Rakyat dan Islam Modern. Rahman mencontohkan masyarakat Islam di Indonesia, yaitu dengan Nahdaltul Ulama sebagai tradisi Islam Rakyat, dan Muhammadiyah sebagai Islam Modern.[37]Islam Rakyat terikat pada tradisi kaku, sementara Islam modern bersifat ’intlektual’ dan mendukung adanya perubahan dan pembaharuan dengan berlandaskan prinsip umum (Islam normatif) yang terkandung dalam al-Quran. Islam modernis bersifat literal, intelektual dan terbuka untuk memformulasikan kembali pandangan al-Quran berdasarkan studi faktual mengenai kondisi sosial.[38] Yang jelas wacana masyarakat modern secara eksplisit atau implisit mengartikulasikan pencitraan terhadap Islam.C. Pengertian Muludan atau Panjang MuludMuludan atau Maulid secara etimologi adalah yang telah dilahirkan yang. Kata ini berasal dari kata bahasa Arab, yaitu waladun.[39] Maka mulud adalah Upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) atau dalam penanggalan Islam yaitu pada bulan Rabiul Awal. Pada bulan Rabiul Awal ini, bagi sebagian orang Jawa dianggap bulan pembawa berkah. Karena di bulan Rabiul Awal yang dalam tarikh Jawa disebut bulan Mulud, banyak orang ketiban rezeki dari tradisi perayaan Sekaten, Panjang Mulud atau grebeg Mulud. Bahkan, sebagian masyarakat Jawa generasi tua percaya, mitos Sekaten bisa membuat orang panjang umur.[40] Sebagian masyarakat mengartikan panjang mulud karena berkaeyakinan dengan merayakan mulud ini akan diberi berkah dengan panjang umurnya.Perayaan memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw atau Maulud Nabi dengan tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, boleh dikata sebagai loro-loroning atunggal. Yakni, dua napas tradisi budaya yang berbeda namun luluh menyatu menjadi sebuah tradisi keagamaan yang khas. Perayaan memperingati Mualud Nabi Muhammad SAW, di Banten di kenal dengan Muludan atau Panjang Mulud. Sebenarnya ritual ini disebut pesta rakyat, karena "ritual" tahunan itu berpuncak pada acara memperebutkan isi tumpeng. Tua muda, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa saling berebut untuk mendapatkan tumpeng. Menurut warga, isi tumpeng itu diyakini membawa berkah dalam hidup mereka.Konon, tradisi Panjang Mulud atau Sekaten yang merupakan media dakwah agama Islam tersebut diciptakan seorang wali Kanjeng Sunan Kalijaga. Jika merunut hikayat semasa hidup Sang Wali, berarti tradisi Sekaten telah melintas beberapa generasi, sejak kerajaan Demak Bintoro, Keraton Pajang, Keraton Mataram Kuna sampai zaman Keraton Kasultanan Yogjakarta dan Kasunanan Surakarta sekarang ini.[41]Tradisi Panjang Mulud dirayakan masyarakat Banten untuk memperingati Hari Kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad SAW. Tidak diketahui pasti kapan tradisi itu muncul di Banten. Beberapa spekulasi menyebutkan, tradisi panjang mulud lahir pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672).Ada juga yang berpendapat, panjang mulud bermula pada masa Sultan Banten kedua, Maulana Yusuf (1570-1580). Namun, mulai melibatkan masyarakat secara massal pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat kaburnya jejak sejarah itu, warga setempat hanya mengatakan bahwa perayaan itu untuk melestarikan tradisi para pendahulu mereka.Panjang Mulud Dan Tradisi Ritualitas KeagamaanA. Akar Sejarah MaulidSetiap bulan Rabi’ul Awal, umat muslim khususnya umat muslim di Banten sibuk menyiapkan berbagai macam agenda dalam rangka memperingati kelahiran Rasulallah SAW., yang jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal, penggagas pertama kalinya yang memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, adalah Sholahuddin Yusuf Al Ayyubi, yaitu panglima perang Mesir. Ia mengusulkan ide maulid Nabi kepada Sultan Mesir, Muzaffar bin Baktati yang terkenal arif dan bijaksana. Sholahuddin Yusuf Al Ayyubi, panglima perang pada masa masa Khalifah Muiz Liddinillah dari dinasti Bani Fathimiyah di Mesir pada tahun 365H/975M.[42]Gagasan Saladin sangat sederhana, pada masa itu masjid Al Aqsa di ambil alih dan diubah menjadi Gereja. Kondisi tersebut diperparah oleh keadaan pasukan Islam yang mengalami penurunan ghairah perjuangan dan menipisnya tali persaudaraan (ukhuwah Islamiyah). Dari latar belakang ini Sultan Saladin menginginkan kembali semangat juang dan persatuan umat dengan cara merefleksikan dan mempertebal kecintaan Nabi yang disambut luar biasa oleh seluruh kaum muslimin.[43]Juresalem berhasil direbut kembali, di bawah pimpinan Sultan Saladin, dalam peperangannya dengan tentara salib, korban dari pihak Islam jatuh dengan jumlah yang sedikit. Tidak seperti kaum Kristen ketika merebut Juresalem yang membunuh kaum muslim seluruhnya. Justru sikap Sultan Saladin yang tidak memiliki sifat balas dendam, mengawal tentara salib yang tersisa guna diselamatkan jiwanya setelah mereka mengatakan menyerah.[44]Versi lain dalam memperingati maulid Nabi Muhammad, adalah terjadi di Irak sekitar 500 tahun setelah Rasulallah meninggal. Afad bin Adzam adalah yang mempelopori peringatan maulid Nabi untuk pertama kalinya, namun proses peringatan maulid ini gagal. Pada peringatan maulid ini, dilakukan penyembelihan lima ekor unta dan 15 ekor kambing. Hal ini umat Islam hanya mementingkan perut dari pada hikmah maulid itu sendiri.[45]Kegagalan kedua dalam memperingati maulid, adalah yang dipelopori oleh Al Khawatsibi dengan kasus yang sama. Baru pada saat Saladin melaksanakan peringatan maulid untuk ketiga kalinya, ia berhasil dan direspon positif oleh umat. Bahkan umat Islam juga mementingkan hikmah uswatun hasanah dalam rangka menyiarkan ajaran Islam.[46]B. Panjang Mulud dan Tradisi AgamaTidak diragukan lagi masyarakat Banten dikenal masyarakat yang religius, hal ini memiliki sejarah yang panjang. Di dalamnya telah terjadi pergulatan yang intens dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya bahkan agama.Selain aktifitas yang memiliki jam terbang yang tinggi para tokoh masyarakat Banten pun mengerahkan tujuan kehidupan bagi masyarakatnya yang akan dituju. Mereka inipun menentukan nilai-nilai etika dalam pergulatan kehidupan masyarakat setempat.Para tokoh agama, biasanya yang memiliki pengaruh perubahan bagi suatu masyarakat dalam pergulatan kehidupan ini. Peran tokoh mampu merubah sebuah tradisi yang tadinya memiliki nilai rendah, tokoh pula yang dapat membangkitkan suatu tradisi yang berniali tinggi. Suatu tradisi yang mampu membangkitkan semangat masyarakat adalah, tradisi maulid Nabi atau panjang mulud di wilayah Banten.Sementara agama, menurut Durkheim, sebagaimana yang dikutip MA. Tihami,[47] sebagai kesatuan sistim kepercayaan dan pelaksanaan dalam hubungan dengan sesuatu yang suci (upacara-upacara), yang dilakukan itu mengikat seseorang pada moral komuniti yang disebut umat. Agama Dalam definisi ini memiliki tiga unsur yaitu, kepercayaan, upacara, dan umatnya. Selanjutnya Tihami, menjelaskan bahwa ketiga unsur tersebut terikat satu jaringan sistim yang satu sama lainnya memberikan sumbangan dalam menjalankan fungsinya. Manusia dalam hal ini disebut umat merupakan unsur agama, yang disebut jama’ah. Sebutan ini muncul karena umat agama memiliki keterikatan dalam menjalankan ritualitas dan upacara-upacara dan keyakinan yang pada akhirnya berwujud dengan moral komuniti.Definisi dan unsur agama di atas berlaku pula bagi agama orang-orang kampung Tanggul Cimuncang. Dalam hal ini unsur ritual (upacara) yang paling dianggap penting, hal ini agama dalam bentuk nyatanya adalah upacara atau ritual. Maka bagi orang-orang yang melakukan ritual berarti orang dianggap beragama. Maka agama adalah serangkaian upacara yang diberi rasionalisasi oleh mitos. Upacara yang diangap penting adalah yang mampu mengikat jama’ahnya dalam satu komunitas, sehingga lambang upacara berarti juga lambang masyrakat. Satu tradisi upacara yang dilaksanakan suatu masyarakat secara gotong royong melambang kebersamaan dan menjadi ajang komunikasi yang ampuh bagi warga masyarakat.[48]Masih menurut Tihami, tradisi upacara yang diselenggarakan bersama diatur berdasarkan pembagian tugas, yaitu imam dan makmum. Meskipun dalam berbagai upacara pembagian tugas ini berbeda-beda namanya. Termasuk di dalam tradisi panjang mulud yang di lakukan di kampung Tanggul yang memiliki tokoh upacara yaitu, imam dan kiyai.Haji Asl, menyatakan bahwa kedahe imam agama niku sing ngederebeni ilmu sing luhur kanggo ngisungi wejangan-wejangan agama kangge masyarakat puniki, napa malih kangge menghadapi upacara panjang mulud kedah ngederebeni ilmu maca alquran sing tartil, bagus qiroate, lan terakhir ngederbeni karismatik, (pemimpin atau imam harus memiliki ilmu agama untuk memberi nasihat kepada masyarakat, apalagi untuk memimpin upacara tradisi panjang mulud yang harus memiliki pembacaan ayat alquran yang bagus, tartil, dan karismatik).Imam ialah pemimpin upacara, ia memiliki pengetahuan yang lebih tentang agama dan upacara-upacaranya dibandingkan dengan makmum. Dan makmum sebagai pengikut dan peserta upacara. Oleh karena itu imam tempat bertanya tentang permasalahan agama, baik di rumahnya ataupun di tempat-tempat lain, sebagai nasihat kepada makmum.[49] Sementara kategorisasi imam dalam panjang mulud, yaitu orang yang memimpin upacara baca dzikir panjang mulud. Masih menurut Haji Asl, pemimpin ini biasa membawa makmum satu kelompok antara 25 orang hingga 100 orang untuk membaca wiridan dzikir, tawasul kepada Allah dan Nabi Muhammad. Sementara makmum, adalah orang yang mengikuti si imam dalam upacara tertentu sampai ia selesai mengikuti upacara.Imam yang dimaksudkan dalam Haji Asl, adalah imam yang memimpin upacara tradisi panjang mulud yang ada di Kampung Tanggul Cimuncang, namun sebelum pelaksanaan tradisi panjang mulud di Kampung ini, dibentuk suatu kepanitiaan terlebih dahulu. Dalam kepanitiaan ini terdapat pemimpin[50] atau ketua, sekretaris, bendahara, dan setrusnya yang mengorgansir pelaksanaan panjang mulud. Biasanya yang dijadikan ketua dalam tradisi panjang mulud ini para tokoh yang dianggap memiliki pengetahuan yang tinggi.Imam dan makmum[51] sebenarnya yaitu kelompok dzikir dalam pelaksanaan tradisi panjang mulud, yang dapat diundang oleh kelompok panitia panjang mulud. Kelompok dzikir Imam dan makmum ini terdiri dari beberapa kelompok, yang masing-masing bergantian membaca dzikir. Dalam tradisi panjang mulud kelompok dzikir ini biasanya terdiri 2-3 kelompok, selanjutnya pihak panitia menilai kelompok mana yang memiliki bacaan, kefasihan, ketartilan, serta qira’atnya yang bagus itulah yang menjadi pemenang dzikir, dan kelompok dzikir berhak menerima panjang mulud yang disediakan oleh panitia.Dalam pelaksanaan tradisi panjang mulud seorang imam, harus pandai berdzikir, bertawasul, membaca ayat-ayat alquran, dengan tartil, dan bahkan si imam harus memiliki bacaan ayat alquran dengan qira’at al sab’ah.C. Prosesi Panjang MuludMasyarakat kampung Tanggul memiliki ghirah yang tinggi dalam mempersiapkan tradisi panjang mulud. Tradisi ini bagi merka merupakan ajaran yang mereka yakini bahwa penghormatan terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW, adalah ajaran yang memiliki tradisi yang baik dan tidak melanggar ajaran agama.Menurut, Haji Syhd, perayaan mulud pada tahun ini masyarakat memiliki ghairah yang tinggi sehingga masyarakat tidak segan-segan merefleksikan tradisi panjang mulud ini dengan ikhlas mengeluarkan panjang-panjang yang bervariasi, terbukti dengan antusiasnya warga yang terdata oleh panitia terdapat 78 panjang, belum yang terdata mereka biasanya mengikuti perayaan ini pula.Prosesi awal dalam perayaan maulid Nabi, adalah membentuk kepanitiaan yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu dari pemerintahan tingkat bawah seperti RT, dan RW sampai k kelurahan, dan Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM). Kepanitiaan terdiri dari Ketua Umum, Wakil Ketua, dan koordinator-koordinator, salah satunya adalah koordinator pendataan panjang. Koordinator ini memiliki peran juga dalam jalannya praktek ritual mualid Nabi, pendataan ini tentu dapat mengindikasikan sebuah antusiasme pada masyarakat.Setelah pendataan selesai, barulah tinggal perayaan yang dipusatkan pada masjid al-Muhairin Kampung Tanggul Cimuncang. Prosesei parayaan upacara panjang mulud ini meliputi : selamatan, tahlil, do’a, hikmah maulid pada malam harinya, baru esok pagi perayaan panjang mulud.Selamatan bagi warga Tanggul merupakan refleksi perayaan yang dipusatkan di masjid yang masing-masing warga membawa hidangan makanan, dan ngeriung sambil membaca tahlil dan do’a. Prosesi selamatan ngeriung ini biasanya dilakukan setelah melakukan sholat maghrib atau isya tergantung kesepakatan.Hikmah maulid, merupakan prosesi acara selanjutnya, bagi masyarakat Kampung Tanggul yang menghendaki siraman rohani, yang berkaitan dengan kehidupan sejarah Nabi, yang berusaha dikaitkan dengan kehidupan masa kini. Acara hikmah maulid ini dapat dilaksanakan setelah ba’da isya sampai tengah malam, yang sebelumnya dilakukan acara selamatan ngeriung.Tepat pada jam 07.00, pagi panjang mulud dijejerkan di depan rumah warga masing-masing, sambil menunggu waktu yang tepat untuk dihantarkan dan jemput ke masjid, panjnag-panjang yang berupa macam-macam bentuknya ini dipertontonkan dahulu, di jalan-jalan.Sementara di dalam masjid terdapat beberapa kelompok pendzikir yang di datangkan dari kampung sekitar. Menurut Haji Syhd, kelompok pendzikir ini biasanya kita undang maksimal tiga kelompok namun pada tahun ini hanya dua kelompok saja. Kelompok pendzikir ini dari tetangga kampung seperti Ranca Talas, dan dan juga dari kecamatan Taktakan yaitu desa Drangong. Kelompok pendzikir ini membaca tahlilalan dan membaca kitab Barjanji secara bergantian, mengiringi datangnya panjang-panjang mulud di depan masjid.Tepat pukul 09.00, panjang-panjang yang dijejerkan di jalan, dijemput sekolompok penjeput terdiri dari 10-25 penjemput dengan berpakaian baju taqwa, sambil membaca sholawatan, dan membawa alat musik terbang gede. Kelompok penjeput ini terdiri dari dua kelompok. Kelompok Pertama, terdiri 10-25 orang sambil membawa alat kesenian terbang gede,[52] patingtung, dan rebbana, mereka menabuh alat ini sambil membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW., berpakaian baju putih dan bercelana panjang, dihiasi pakaian sarung yang dilipat setengah dari pinggang sampai lutut. Kelompok kedua, teridiri dari 10-20 orang membawa alat kesenian rebbana, sambil menjemput panjang-panjang mulud mereka juga membaca tahlil dan sholawat kepada Nabi, mereka berpakain baju taqwa berwarna putih. Adapun tahlil dan sholawat yang mereka nyanyikan adalah :Laa ilaha Illallah Muhammad RasulallahAllahu Laa ilaha Illallah Muhammad RasulallahAllahu Laa ilaha Illallah Muhammad Rasulallah Sholatulllah salamullah ‘ala toha RasulillahSholatullah salamullah ‘ala yasiin habibillahTawaslna bibismillah wabilhadi rasulillahWakullli mujahidillillah bi ahli badriya AllahDan mereka juga menyayikan lagu-lagu seperti :Hayu kabeh dulur-dulur dadi wong aje takaburHayu kabeh dulur-dulur dadi wong aje takaburHayu kebeh dulur-dulur maring Allah kudu SyukurInget kangge ning kuburMenurut Haji Syhd, kelompok penjeput panjang mulud ini tujuannya hanya untuk memeriahkan saja, dan juga melestariakan kesenian terbang gede dan rebbana yang pada saat ini sudah ditinggalkan oleh masyarakat kita sendiri karena terbawa oleh arus modernisasi.Penjemputan panjang dari rumah-rumah ini berakhir pada pukul 11.30, sebelum pelaksaanan sholat dzuhur, para penjemput dan pembawa panjang beristirahat sambil menungu sholat tiba, terdapat prosesi saweran yang ditujukkan kepada kelompok penjemput panjang atau kelompok terbang gede, dan rebbana. Saweran syukuran ini dimaksudkan telah selamatnya membawa panjang-panjang mulud dari rumah-rumah warga menuju ke masjid. Nominal dari saweran yang dilemparkan ke kelompok penjemput panjang mulud, terdiri dari nilai mata uang seribu hingga lima puluh ribu rupiah.Setelah sholat dzuhur, kelompok pendzikir kembali membacakan sholawat dan membaca marhabanan yang dipimpin oleh para kiyai yang diundang. Setelah pembacaan ini barulah panjang mulud dapat dibagi-bagikan kepada para undangan dan orang-orang sekitar yang dianggap fakir, yang tidak lain disebut orang-orang ngeropok.D. Unsur-Unsur Panjang Muluda. Panitia Panjang MuludSuatu kelompok yang terorganisir memiliki fungsi-fungsi yang mengatur lancarnya prosesi terjadinya tradisi panjang mulud. Untuk mewujudkan suatu kepanitaan ini, diawali dengan rapat Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) setempat, karena DKM merupakan organisasi tertinggi keagamaan dilingkungan kampung karena memang demikian para pengurus DKM, mengundang para kiyai, tokoh, dan unsur pemuda.Kepanitiaan yang berlaku biasanya sampai tiga minggu hingga akhir acara tradisi upacara panjang mulud selesai. Panitia panjang mulud bertanggung jawab penuh pada masyarakat dan DKM sukses tidaknya upacara tradisi panjang mulud.b. Kelompok PendizikirMenurut Lukman Hakim,[53] sejarah zikir mulud sudah populer pada tahun 1927-1940, di suatu desa Serdang, Kecamatan Kramatwatu Serang, ada lima orang ulama, yaitu KH Dali, KH. Dulfatah, KH. Umar, KH. Muhriji, dan KH. Balhi yang berguru pada seorang tokoh ulama KH. Erab, sebagai ulama guru zikir yang populer di Banten. Seni zikir yang dipelajari oleh kelima ulama di atas, merupakan cikal bakal munculnya zikir mulud. Sehingga tidak heran seni zikir ini berkembang sampai ke generasi ke-6. Pada tahun 1940-1955, zikir mulud lebih berkembang lagi dengan generasi keduanya, yaitu : H. Said dan KH. Ahya. Dan pada tahun 1955-1965 merupakan tahun generasi yang ketiga, dengan tokohnya, yaitu H. Surni Afik, A. Sakun, Hamami, Ki Hamdani, dan Ki Jane. Pada generasi ketiga inilah sebenarnya seni zikir panjang mulud sudah terebar termasuk di Kapung Tanggul Cimuncang Serang. Menurut Haji. Aslh, ketika ia umur enam tahun zikir mulud dan panjang mulud sudah ramai di Kampung Tanggul.Dalam pelaksanaan zikir mulud yang ada di Tanggul biasanya tampil dengan 50 orang dalam satu kelompok, dan biasanya pula dalam upacara tradisi baca zikir panjang mulud terdiri dari dua kelompok pembaca seni zikir mulud. Yang masing-masing memiliki tugas tersendiri. Kelompok pertama sebagai pembawa soal dalam lafadz-lafadz zikir, sedangkan kelompok kedua sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan kelompok pertama yang disampai dengan lafadz-lafadz zikir pula.Para kelompok pezikir ini membacakan kitab Barjanzi, yang biasanya lagu-lagu tersebut tidak berubah sepanjang tahunnya. Dalam kitab ini memiliki 16 lagu-lagu. Ketika posisi duduk, lagu yang dibawakan pezkir adalah, assala, alfasa, tanakal, walidal, singkir, dzikrun, dan badat. Namun dalam posisi berdiri pezikir membacakan lagu hanya satu, yaitu : ya Nabi salam. Kemudian dilanjutkan lagi dengan posisi duduk yang kedua, dengan membacakan lagu-lagu terdiri dari 8 lagu, yaitu : ya Nuur, Futur Kulwas, Ta’lam, Masmis, Wulidang, Talaubina Jalar nama, dan Habibun.[54] Para pezikir ini tidak berhenti membaca selama 12 jam dengan istirahat pada waktu sholat dzuhur, yang dilanjutkan samapai sholat ashar. Para pezikir dalam upacara tradisi panjang mulud kali ini dengan memakai pakaian seragam baju taqwa.c. Kelompok JuriUntuk memeriahkan dan menambah semangat para pembaca zikir mulud, dalam prosesi panjang mulud di Kampung Tanggul Cimuncang, maka kedua kelompok tersebut dilombakan. Menurut Haji Jhd Krm. Dilombakan baca zikir ini tidak lain hanya untuk memriahkan saja, dan memberi semangat. Menurutnya kreteria lomba baca zikir ini, yaitu : memiliki kekompakan, suara yang indah, tajwid, dan qiroa’tnya.Kelompok juri diambil dan diundang dari kampung tetangga yang benar-benar memiliki kemampuan menilai dari hasil bacaan zikir tersebut. Kelompok juri ini terdiri dari tiga orang.d. Kelompok NgeropokIstilah ngeropok berasal dari bahasa jawa Serang, yang arti secara bahasanya tidak bisa ditemukan secara pasti, namun dari beberapa analisa dapat artikan bahwa ngeropok merupakan istilah yang ada di tradisi upacara panjang mulud di Serang Banten, yang artinya sekolompok atau individu orang yang datang dan mengikuti prosesi upacara panjang mulud yang sebelumnya tidak diundang, dengan harapan mendapat berkat,[55] dari panjang-panjang mulud yang tersedia. Dan biasanya mereka ini mendapatkan berkat seperti, berkat nasi dan lauk pauk riungan, dan sebagainya.Berbeda juga dengan sekolompok atau individu ngeropok undangan, menurut Haji Syhd, mereka yang diundang dalam upaacara tradisi panjang mulud, yaitu teridiri dari kiyai, ustadz, pemerintahan, kelompok swasta, dan sebagainya. Mereka mendapatkan berkat yang ditentukan oleh panitia.e. Kelompok Pembuat PanjangKelompok ini teridiri dari individu mapun kelompok, dan tidak diwajibkan bagi masyarakat Kampung Tanggul, untuk membuat panjang mulud namun untuk merefleksikan perayaan maulid Nabi SAW, mereka berusaha mwujudkan perayaan upacara tradisi panjang mulud. Mereka sejak malam harinya membuat panjang mulud berbagai macam variasi dan tidak ditentukan oleh panitia. Panitia hanya menghimbau bahawa panjang-panjang mulud, tidak lagi dimasak nsmun berupa mentahnya seperti beras, mie instans, danlain-lain.Menurut Haji Sbhs, panjang mulud sebenarnya tidak ada perubahan yang berarti, hanya merubah dari yang masak beralih ke mentahnya saja. Bila beras dimasak menjadi nasi dan dilengkapi dengan lauk pauk dimungkinkan akan mubazir. Panjang mulud beralih ke mentahnya karena praktis dan efesien dan bisa dimasak sekarang atau nanti.Masyarakat Kampung Tanggul dalam membuat panjang mulud, kecil maupun besar bentuknya, atau nilai nominal rupiah kecil atau besar bukan merupakan sebuah prestise, namun mereka niat karena Allah SWT, demikian yang diungkapkan Haji Sbhs. Lillahi Ta’ala yang diungkapkan Haji Sbhs, merupakan sifat masyarakat karena mereka ingin beribadah dan memperingati dan merefleksikan perayaan maulid Nabi SAW. Menurutnya panjang mulud yang pernah terjadi di Kampung Tanggul dengan nominal yang besar adalah 5 (lima) ton beras.E. Panjang Mulud dan Simbol AgamaIstilah panjang, tidak terkait dengan panjang pendek sebuah meteran, namun panjang ada kaitannya dengan pajang, yaitu memajangkan (show up; memperlihatkan), menyumbangkan suatu bentuk barang makanan atau hadiah-hadiah kepada Nabi SAW, kemudian diberikan ke fakir miskin. Dengan demikian panjang mulud, merupakan memajangkan dan menyumbangkan hadiah berupa makanan yang khas, seperti nasi dan lauk pauknya. Panjang-panjang ini dihias bermacam-macam bentuknya, sepertibentuk perahu, kapal terbang, ka’bah, kubah masjid, dan lain sebagainya.Awal mulanya panjang mulud berkisar pada nasi dan ditempatkan pada wakul (bakul), namun perkembangan zaman, bakul berisi nasi dan lauk pauk dihias dengan berbagai macam warna, dan yang lebih menarik lagi, menghias telor dengan berbentuk bunga mawar. Dan untuk lebih praktisnya lagi saat ini panjang mulud tidak lagi dengan meyumbangkan makanan yang dimasak. Sehingga satu keluarga atau kelompok tidak lagi menanak nasi, melainkan menghias makanan yang tidak dimasak, dan menghias panjang dengan bermacam-macam bentuknya. Bentuk-bentuk panjang mulud yang terdapat di Kampung Tanggul, adalah : beras, telor-hias, ayam, kambing, mebel, alat-alat masak, alat transportasi, jam dinding, perahu, pesawat, ka’bah, masjid, kubah masjid, mobil, mie instan, kompor, sendal jepit, uang, kain sarung, kain panjang/benting, sajadah, karpet, risbang, dan lain-lain.Bagi masyarakat Kampung Tanggul, tradisi panjang mulud merupakan suatu perintah agama, karena kecintaannya terhadap Nabi Muhammad SAW. Kecintaan kepada Nabi dan agama inilah yang diyakini bagi mereka guna menjalankan syariat ajaran Islam.Menurut Geertz, agama sebagai sistim simbol, dan karenanya juga sisitim budaya (as a cultural system), yang menjadi acuan manusia (umat) dalam menginterpretasikan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai acuan, agama dipandang oleh umatnya dapat memberikan pemecahan maslah-masalah yang dihadapi oleh manusia, baik masalah-masalah yang dihadapi sekarang (dunia nyata), masalah-masalah nanti (akhirat), maupun masalah-masalah yang tidak tampak (dunia gaib), karena agama mempunyai tuntutan dan janji-janji kepada pemeluknya.Tuntutan dimaksud, adalah ketaatan atas kewajiban-kewajiban agama, penerimaan atas kepercayaan-kepecayaan agama, dan atas penyelenggaraan upcara-upacara agama. Selain itu juga agama menyediakan simbol-simbol sebuah tradisi yang dapat diacu oleh manusia dalam menentukan sebuah sosial, dan peranan manusia dalam kehidupannya. Peranan manusia dalam memenuhi tuntutan agama itu menimbulkan solidaritas umat, karena dalam solidaritas kebersamaan manusia dalam menjalankan upacara tradisi agama. Solidaritas kebersamaan cenderung dipertahankan, karena penyebabnya adalah agama, maka untuk solidaritas itulah agama tetap dipegangi oleh manusia.Solidaritas ini dipertahankan untuk membentuk kebersamaan dalam parayaan upacara tradisi agama, yaitu maulid Nabi Muhammmad SAW., dalam upcara ini memiliki simbol-simbol agama yang dapat dijadikan solidaritas kebersamaan dalam perayaan. Karena simbol dalam perayaan upcara panjang mulud, merupakan ajaran yang diperintahkan untuk mencintai Rasulallah SAW., bukan hanya cinta melainkan juga taat dan menjalankan perintahnya.KesimpulanTradisi panjanng mulud, bagi masyarakat Kampung Tanggul Cimuncang Serang Banten, merupakan tradisi keagamaan yang biasa dilakukan oleh umat Islam pada umumnya. Panjang mulud merupakan upacara yang di dalamnya memiliki simbol-simbol keagamaan.Panajang mulud, yang berarti memberikan dan memajangkan makanana yang pada kahirnya diberikan kepada fakir miskin. Pada awalnya panjang mulud berupa memberikan makanan yang berisi lauk pauk, namun perkembangan zaman, panjang mulud yaitu memajangkan sebuah makanan yang berbentuk hiasan-hiasan dan dalam bentuk macam ragamnya. Bentuk-bentuk panjang mulud yang dihiasi, adalah perahu, pesawat, ka’bah, masjid, kubah masjid, dan lain sebagianya.Prosesi panjang mulud memang membutuhkan waktu yang panjang dan tenaga yang cukup ekstra, apalagi pada kelompok zikir mereka harus membaca kitab barjanzi secara bergantian dengan saling memberi pertanyaan dan jawaban dalam lagu-lagu yang dibacakannya.Kelompok lain dalam perayaan tradisi panjang mulud ini adalah penjemput panjang mulud. Kelompok ini menjemputnya dengan membawa alat kesenian tradisional kesultanan Banten, yaitu terbang gede, sambil membaca sholawat, dan tahlil merka penjemput panjang mulud.Ngeropok merupakan, istilah dalam perayaan tradisi panjang mulud yang berati orang atau sekolomok orang yang mencari berkat, berkat-berkat ini dibagikan kepada orang yang ngeropok. Berbeda lagi dengan ngeropok yang diundang, kelompok ini memiliki tingkat status seperti kiyai, ustadz, dan lain-lain yang sifatnya dapat diundang, dan mereka pun dapat bekat pula.RekomendasiTradisi panjang mulud merupakan salah satu tradisi keagamaan masyarakat Serang Banten, yang peranannanya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa peran tradisi panjang mulud memiliki sumbangan yang bersifat kebersamaan, solidaritas, dan tentunya sumbangan pariwisata.DAFTAR PUSTAKABadri Yatim, Sejarah Petadaban Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 199)Calude Guillot dkk, The Sulotanate of Banten,(Jakarta : Gramedia, 1990).Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka Jaya, 1981).Elizabet K. Notingham, Religion dan Society terjm. Abdul Muis Naharong (Jakarta : Rajawali Press, 1987),Fachry Ali, Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam : rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung : Mizan, 1992).Faridatul Fauziah dkk, Perempuan Dalam Kaca Mata Kiyai dan Jawara : Studi tentang Kesetaraan Gneder di Banten, (Lapaoran Penelitian, P3M STAIN SMHB Serang, 2003). G Kartasapoetra, dan Kartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta : Bumi Aksara, 1992).Goodwill Zubir, RepublikaHarun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975).HMA. Tihami, Kepemimpinan Kiyai di Banten (Serang : P3M STAIN SMHB Serang, 1999).http://pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/15/0406.htm. http://www.jabar.go.id/user/view_menu.jsp?menu=Pariwisata&submenuLoius Ma’luf, Kamus Munjid (Beirut : Dar El-Mashreq, 1975) Hal. 917M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran Tafsir Sosial Berdasrkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta : Paramadina, 2002).Muhammad Hudaeri dkk, Tasbih dan Golok : Srudi tentang Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten (Serang, P3M STAIN SMHB Serang, 2002).Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia” dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Islam Indonesia (Bandung : Mizan, 1998) -----------------------, Cendikiawan dan Religuitas masyarakat, (Jakarta : Paramadina, 1999).-----------------------, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemiskinan, dan Kemodrnan (Jakarta : Paramadina, 2000). hal. 550Nurul Luth, Sosiologi sebuah Pengantar (Jakarta : Galaxy Puspa Mega, 1996).Republika dalam Dialog Jum’at , Salahudin dan Peringatan Maulid (Jum’at, 30 Maret 2007)Riaz Hasan, Keragaman Iman Studi Komperatif Masyarakat Muslim, terjm. Jajang Jahroni, dkk (Jakarta : Rajawali Press, 2006).Rudolf Otto, The idea of Holy (Oxford : Oxford University, 1958).Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan sosiografi (Jakarta : Bulan Bintang, tt).Soedjatmoko, Iman, Amal, dan Perkembangan “ dalam Agma dan Tantangan Zaman (Jakarta : LP3ES, 1985)Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung : Mizan, 1990)Tosihihiku Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religuitas dalam Al-Quran, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003)Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama Al-Quran : Jawaban al-Quaran terhadap Problematika Sosial (Yogyakarta : Pustaka Rihla, 2007).[1] Tosihihiku Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religuitas dalam Al-Quran, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), hal. 19.[2] Ibid[3] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung : Mizan, 1990) hal. 29[4] Fachry Ali, Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam : rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung : Mizan, 1992). Hal. 18[5] Ibid[6] HMA. Tihami, Kepemimpinan Kiyai di Banten (Serang : P3M STAIN SMHB Serang, 1999). Hal. 1[7] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka Jaya, 1981).[8] Fachry Ali, Bahtiar Effendy, Ibid[9] Nurcholish Madjid, Cendikiawan dan Religuitas masyarakat, (Jakarta : Paramadina, 1999). Hal. 9[10] Soedjatmoko, Iman, Amal, dan Perkembangan “ dalam Agma dan Tantangan Zaman (Jakarta : LP3ES, 1985). Hal. 4[11] Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan sosiografi (Jakarta : Bulan Bintang, tt). hal. 95[12] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran Tafsir Sosial Berdasrkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta : Paramadina, 2002). Hal. 133[13] Rudolf Otto, The idea of Holy (Oxford : Oxford University, 1958). Hal. 5[14] Dawam Rahardjo, Ibid. hal. 136.[15] M. Dawam Rahardjo, ibid. hal. 141[16] Nurul Luth, Sosiologi sebuah Pengantar (Jakarta : Galaxy Puspa Mega, 1996). Hal. 90.[17] G Kartasapoetra, dan Kartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta : Bumi Aksara, 1992). Hal. 427[18] Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama Al-Quran : Jawaban al-Quaran terhadap Problematika Sosial (Yogyakarta : Pustaka Rihla, 2007). hal. 332[19] Waryono Abdul Ghafur, ibid[20] Ibid. hal. 332-333[21] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemiskinan, dan Kemodrnan (Jakarta : Paramadina, 2000). hal. 550[22] Nurcholish Madjid, Ibid, hal. 552[23] Waryono Abdul Ghafur, ibid[24] Nurcholish Madjid, Ibid, hal. 553[25] Ibid. Dalam hal ini pula Nurcholis Madjid, mengemukakan pendapat sosiolog modern, yaitu Eisenstandt, bahwa yang harus dipertentangkan adalah “modernitas” dengan “tradisionalitas”, bukan dengan tradisi an sich. Selanjutnya Nurcholish Madjid, mengungkapkan pandangan Abd al-Wahhab Khalaf yang menuraikan bahwa pembangunan mazhab dahulu juga menggunakan unsur-unsur tradisi untuk sistim hukum yang mereke kembangkan. Seperti halnya Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar parektek penduduk Madinah. Imam Syafi’i, setelah berdiam di Mesir merubah sebagian hukum-hukum perubahan adat-kebiasaan (dari Irak ke Mesir), karena itu ia mempunyai pandangan hukum seperti ; qawl qadim dan qawl jadid.[26] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975). Hal. 11[27] Elizabet K. Notingham, Religion dan Society terjm. Abdul Muis Naharong (Jakarta : Rajawali Press, 1987), hal. 37[28] Riaz Hasan, Keragaman Iman Studi Komperatif Masyarakat Muslim, terjm. Jajang Jahroni, dkk (Jakarta : Rajawali Press, 2006). Hal. 50[29] Ibid[30] Mohamad Zaki Hussein, Sosiologi Agama Durkheim, http://media.isnet.org/islam/Etc/Durkheim.html[31] Ibid[32] Riaz Hasan, Ibid hal. 50[33] Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia” dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Islam Indonesia (Bandung : Mizan, 1998) hal. 94[34] Nurul Luth, Sosiologi sebuah Pengantar…hal. 91-92[35] Kontjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta : Aksara Baru, 1965). Hal. 196[36] Riaz Hasan, Ibid hal. 127[37] Ibid. hal. 128[38] Ibid [39] Loius Ma’luf, Kamus Munjid (Beirut : Dar El-Mashreq, 1975) Hal. 917[40] http://pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/15/0406.htm. dan lihat pula http://www.jabar.go.id/user/view_menu.jsp?menu=Pariwisata&submenu[41] Ibid[42] Badri Yatim, Sejarah Petadaban Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 199)[43] Republika dalam Dialog Jum’at , Salahudin dan Peringatan Maulid (Jum’at, 30 Maret 2007)[44] Ibid[45] Goodwill Zubir, Republika ibid[46] Ibid[47] HMA. Tihami, Kepimpinan Kiyai di Banten Studi Tentang Agama dan Magi di Desa Pesanggrahan Serang Banten, (Serang : P3M STAIN Serang, 1999). Hal 115[48] Ibid[49] Ibid[50] Yang dimaksud pemimpin di sini, yiatu pemimpin yang mengatur dan mengorganisir, bukan pemimpin suatu upacara tradisi panjang mulud.[51] Imam dan makmum ini, biasanya kiyai, ustadz dan para santrinya. Kiyai, adalah sebagai elemen terpenting dalam lembaga pesantren. Kiyai merupakan gelar terhadap ulama dari kelompok Islam tradisional yang memiliki pesantren[52] Merupakan kesenian tradisional Kesultanan Banten abad ke-XVI, kesenian ini merupakan media penyebaran agama Islam di Banten, terdiri dari lima orang sebagai pemegang instrumen dan tujuh dan limabelas orang sebagai pendizikir. (Lukman Hakim, Banten dalam Perjalanan Jurnalistik (Pandeglang : Banten Heritage, 2006), hal 236)[53] Ibid, hal. 199-200[54] Ibid, hal. 201[55] Berkat, dari istilah bahasa Arab yang artinya mndapatkan keberkahan dari rizki yang diberikan oleh Allah, berkat dalam tradisi panjang mulud merupakan suatu simbol setelah melakukan prosesi upacara keagamaan. Berkat panjang mulud bagi orang yang ngeropok pada saat ini tidak lagi dengan membawa nasi beserta lauk pauknya, namu untuk efsiensi dan tidak langsung dimakan maka berkat dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ngeropok dengan mentahnya, seperti beras, mie instan, dan lain-lain.

ISLAM DAN TRADISI LOKAL BANTEN (Studi Ritulitas Panjang Mulud di Serang Banten)

Oleh
Uib Sholahuddin Al Ayubi, MA


A. Pendahuluan

Islam, yang lahir pada abad ke VII di Arabia, tak diragukan lagi merupakan salah satu dari reformasi agama yag paling radikal yang pernah muncul di kawasan Timur, dan kitab suci al-quran yang merupakan kitab autentik yang paling awal dari peristiwa besar ini, yang mampu menjelaskan istilah-istilah kongkret dengan gamblangnya bagaimana dalam dalam priode penting tersebut ternjadi konflik yang banyak menumpahkan darah antara norma-norma suku yang saat itu dihormati dengan pandangan hidup baru tersebut. Arabia pada masa tersebut merupakan masa penyembahan terhadap berhala-berhala pra Islam hingga datangnya Islam, adalah masa yang paling penting bagi siapapun yang mempunyai kepentingan dengan masalah-masalah pemikiran etik, karena memberikan materi suatu kasus baik sekali untuk mempelajari munculnya peraturan moral, yang mungkin kontradiktif bagi tradisi kehidupan bangsa Arabia pada masa itu.[1]Tradisi pagan pada zaman jahiliyah (kebodohan) sebelum munculnya Islam, serta pandangan-pandangan aneh yang berkaitan dengan kepercayaan merajalela pada orang-orang Arab Nomadik, tradisi dan kepercayaan tersebut tentunya ditolak oleh Islam karena bertentangan dengan wahyu, namun tradisi dan pandangan masih tetap dipertahankan dan digunakan melalui perubahan bentuk, subtansi dan diberi sifat yang lebih bermakna Islami.[2]Sementara itu, sebelum datangngnya Islam ke wilayah Asia Tenggara khusunya di wilayah kepulauan Indonesia, telah terjadi interaksi sikap etik agama-agama, yaitu agama Hindu dan Budha dan dicampurkan dengan agama kepercayaan anak negeri sendiri. Namun dalam kajian-kajian yang dilakukan oleh orang-orang Barat bahwa agama Hindu Budha yang muncul di Indonesia, yang sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakatnya, adalah merupakan amalan lapisan tipis struktur masyarakat. Agama-agama ini hanya diamalkan oleh para raja-raja dan bangsawan, sementara rakyat jelata mengambil sikap tidak peduli terhadap ajaran-ajaran agama tersebut.[3]Penganut agama tersebut, perihal pemahaman agamanya tidak benar-benar paham akan agamanya, melainkan hanya sebatas mementingkan persoalan-persoalan dengan ritualitas (tata upacara) keagamaan yang membesarkan keagungan dewa-dewa saja untuk kepentingan mereka sebagai penjelmaan dewa, dan memperkukuh kedudukan, serta golongan raja-raja dan bangsawan pada lapaisan struktur masyakat.Pengaruh agama Hindu Budha terhadap mayarakat Indonesia terutama dalam pengorganisasian politik, ekonomi, sosial dan keagamaan ini merupakan aspek terpenting inernasionalisasi. Karena inilah muncul berbagai kerajaan Hindu dan Budha di suluruh pulau. Dari aspek keagamaan Hindua-Budha, dengan berbagai variasi dan aliran keagamaan, merupakan suatu hal yang sangat penting. Bahkan bisa dikatakan bahwa, pada dasarnya, agama-agama itulah yang memberikan dasar bagi pembentukan sistim sosial politik dan ekonomi di Nusantara.[4]Namun keberhasilan Islam pada abad ketujuh sampai ketigabelas yang menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia serta menjadikan dirinya sebagai agama utama bangsa ini merupakan suatu prestasi luar biasa. Proses penyebaran agama hanya sebatas ketekunan tenaga da’i-pedagang atau seorang guru sufi. Namun hal ini masyarakat Indonesia tidak seluruhnya menerima Islam, mereka bahkan ada yang menolaknya, dan juga ada yang menerima dan masih mempertahankan kepercayaan yang lama.[5]Penyebaran agama Islam, memang hanya terbatas pada wilayah yang dekat dengan daerah semenanjung pantai merupakan suatu kepentingan yang tidak terelakan karena posisi pantai merupakan posisi yang strategis. Terutama kerjaan-kerajan pantai di Jawa, yaitu Demak, Giri, Cirebon, dan Banten.Pada abad ke-16 Masehi agama Islam menyebar di Banten, hingga puncak kejayaannya berdiri kearajaan Islam di Banten, dengan sultan yang pertama yaitu Sultan Maulana Hasanuddin (1526 - 1570 M). Islam pada masa ini cenderung bersifat introduction (perkenalan) saja, hanya sebatas pada tatanan aqidah (kepercayaan).[6]Proses penyebaran Islam di Pulau Jawa, banyak sarjana Barat berpendapat bahwa penyebaran Islam di pulau Jawa telah terjadi proses sinkretisasi yang cukup kentara antara ajaran Islam dan ajaran-ajaran Hindu.[7] Sinkrititisme yang dikembangakan oleh sarjana Barat, merupakan kenyataan, secara geografis Indonesia jauh dari Timur Tengah. Karena sangat tidak mungkin dapat mewujudkan kemurnian Islam di Indonesia. Dengan kata lain campurnya ajaran Islam dengan ajaran lokal bisa terjadi dan tidak terelakan lagi, hal ini pula terjadi pada ajaran-ajaran Islam di bumi Banten. Karena sebelum muncul Islam di Banten sudah tertata sistim kerajaan agama Hindu, yaitu seperti raja-raja Purnawarman, Pakuan dan Banten Girang.Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan waktu terbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat, bahkan perbedaan ritual yang dilakukan.Perbedaan-perbedaan dalam melakukan ritualitas keagamaan seperti melakukan tradisi sakaten, di Yogyakarta, di wilayah Banten Khusunya di Serang tradisi ritual seperti Muludan (Panjang Mulud, ngeropok), hal ini dilakukan juga oleh masyarakat Banten, dan tradisi ini tidak ada perbedaan istilah yang kentara.Gambaran di atas menunjukan bahwa Islam dan tradisi ritualitas di Banten suatu fenomena yang menarik untuk di kaji, karena ritualitas keagamaan seperti muludan di sekitar kita adalah hal yang menrik untuk diteliti.B. Kerangka PemikiranIslam datang ke Indonesia begitu cepat terserap khusunya di pulau Jawa, memang tidak dapat dilepaskan bagitu saja dari akar sejarah dan budaya masa lalu. Budaya agama Hindu realtif tinggal sedikit, sedangkan Islam mencapai kesuksesan yang luar biasa.Spiritualitas Islam abad ke 15 dan 16 di tanah Jawa tampak masih dapat dibaca, dengan literatur spiritualtas yang bersifat sufistik, yaitu penekanan keberagamaan corak tasawuf pada bentuk-bentuk kesalehan pribadi, berpola asketik, yaitu menahan diri dari gelombang kehidupan yang bergelimang kemewahan.Pada abad ke 19, Islam telah tersebar menjadi agama yang dianut oleh kedua lapisan struktur masyarakat yang ada. Sejak itu pada umumnya, masyarakat Indonesia telah menerima Islam sebagai agama mereka. Dengan diterimanya Islam sebagai agama mayoritas masyarakt Indonesia, muncul asumsi kuat bahwa Islam telah berhasil manguasai dasar-dasar ajaran Hindu Budha yang bersifat mistik atau spiritual animistik. Dengan demikian Islam di Indonesia tetap berbeda dengan Islam yang berada di Timur Tengah.Ada beberapa faktor utama mempercepat proses perkembanagan agama Islam di Indonesia, yaitu [8] ; Pertama, karena ajara Islam menekankan prinsip ketuhidan dalam sistim ketuhanannya, suatu prinsip yang secara tegas, menekankan ajaran untuk mempercayai Allah. Dan pada konsekwensi ajaran tauhid ini, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan. Kedua, fleksibiltas ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai universal. Dengan dengan demikian, ajaran Islam dapat berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis situasi kemasyarakatan. Karena karakter ajaran Islam yang demikian, maka Islam tidak secara serentak menggantikan seluruh tatanan nilai yang telah berkembang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum datangnya Islam. Ketiga, Islam oleh masyarakat Indonesia sendiri dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk mengahadapi dan melawan ekspansi pengaruh Barat. Keempat, di Jawa dikenal dengan para sufinya yaitu disebut Walisongo yang dalam perkembangannya Islam di Jawa, memainkan peranan amat dominan. Mereka dikenal dengan kelenturannya dalam mengajarkan agama Islam dengan meneguhkan tradisi-tradisi lokal, terutama ajaran mistikisme lama yang berasal dari ajaran Hindu, yang memang banyak mempunyai persamaan dengan ajaran mistikisme Islam.Sampai di sini sinkretisme Islam di Indonesia dapat diterjemahkan, yaitu bercampurnya ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia sejak sebelum datanya Islam, dan sinkretisme Islam dalam pengertian bahwa ajaran Islam telah bercampur dengan nilai-nilai serta tradisi masyarakat pendatang, yaitu para pedagang dari Persia dan India.Ernest Gellner dalam bukunya Muslim Society, mengatakan bahwa hanya Islam bertahan hidup sebagai suatu keyakinan serius yang meliputi baik tradisi Besar maupun tradisi rakyat. Tradisi yang besar dapat dibuat modern, pelaksanaannya dapat diterapkan bukan sebagai sebuah inovasi atau konsesi.[9] Inovasi tradisi Islam yang dikembang dengan tradisi lokal merupakan fleksibilitas Islam sebagai agama.Karakter yang dimiliki masyarakat lokal dalam mengembangkan tradisi muludan yaitu tentunya melalui proses budaya yang panjang. Secara harfiyah muludan adalah kelahiran, namun dalam tataran berikutnya tradisi seperti ini justru berkembang berbeda-beda di wilayah tertentu. Sehingga pelaksanaan tradisi muludan di Banten memiliki nilai, norma, simbol yang khas, bahkan dapat dibuat dengan menyusaikan kehidupan modern dalam pelasanaannya.Di wilayah Banten, dalam pelaksasanaan muludan tidak terlepas dengan motivasi-motivasi, dorongan-dorongan, norma-norma agama, dan prilaku. Dan tradisi ritual muludan ini mengembangkan persembahan, penampilan, seta tata cara yang berbeda. Selain itu tradisi ritual ini memiliki norma dan etika dalam pelaksanaannya. nan amat dominanam di JAwa,walisongobagai suatu institusi yang amat dominan untuk mengahdapi dan melawan ekspansiKajian Teoritis Islam, Tradisi, Ritual Dan MuludanA. Pengertian Islam, Tradisi, dan Rituala. Pengertian IslamAgama adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam membentuk pandangan dunia (world view) masyarakat dalam mempresepsi kehidupan. Presepsi manusia tentang kehidupannya mempengaruhi perkembangan dunia dan perjalanan sejarah peradaban manusia. Dan agama banyak mempengaruhi manusia dalam memandang dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Karena itu perkembangan suatu peradaban manusia tidak dilepaskan dari sistim nilai atau kepercayaan yang dianut masyarakatnya. Sulit dibayangkan adanya suatu peradaban tanpa adanya suatu nilai atau kepercayaan yang dianggap benar dan dijadikan panduan oleh masyarakat tersebut.[10]Islam adalah kata jadian Arab, asal katanya yaitu aslama, kata dasarnya salima, yang berarti sejatera, tidak bercacat. Dan kata masdharnya adalah selamat. Dalam bahasa Indonesia menjadi selamat, sehingga ketika umat Islam dalam menjalankan ritual ibadahnya, selalu mengucapkan selamatan. Namun disitilahkan Islam adalah patuh, taat, dan berserah diri kepada Allah. Dengan kepatuhan, dan penyerahan diri secara menyeluruh (tanpa reserve) iu terwujudlah salam dalam kehidupan baik di dunia dan akhirat.[11] Maka bagi penganutnya disebut muslim, yaitu kaum yang berserah diri pada (Tuhan), hal ini sebagaimana tercantum dalam al-Quran al-Baqarah/2:128.Muslim, artinya adalah “orang yang tunduk”, sehingga, apabila pengertian ini dikaitkan dengan Islam, sebagai nama sebuah agama, maka Islam dapat diartikan sebagai “agama orang-orang yang tunduk”, yaitu tunduk pada kehendak Tuhan (submission to God’s will).[12] Tunduk merupakan ketaatan, dan ketaatan serta kepatuhan kepada Yang Lebih Tinggi merupakan perasaan dan keyakinan alamiah manusia.Menurut Rudolf Otto,[13] bahwa sejarah perdaban manusia, selalu ada kecenderungan alamiah manusia untuk meyakini, sebut saja numinous, yaitu suatu perasaan dan keyakinan terhadap adanya Yang Maha Kuasa, Yang Lebig Besar, Yang Lebih Tinggi, yang tidak bisa dijangkau dan dikuasasi oleh akal manusia.Islam, seperti apa yang dikatakan Bernad Lewis,[14] itu terdapat tiga presepsi, Pertama, Islam sebagaimana terwujud dalam al-Quran dan Hadits, hal ini adalah sebagai konsep hidup. Kedua, Islam sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama, yaitu dalam wujud ajaran atau doktrin yang disistimatiskan melalui proses interpretasi terus menerus untuk mencapai kesapaklatan (ijma). Ketiga, Islam dikenal sebagai konsep Islam-sejarah (historical Islam). Praktik-praktik kehidupan masyarakat, hukum, negara dan kebudayaan, maka Islam yang nampak adalah yang nyata perwujudannya dalam sejarah. Islam dengan bentuk kata jadiannya aslama yang berarti “menyerahkan diri”. Dalam al-Quran dijelaskan dalam surah al-Baqarah/2 : 112 “Ya, Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan ia berbuat baik, maka ia mendapat pahalanya pada Tuhannya dan tidak ada ketakutan kepadanya dan tidak ia berduka cita”. Selain makna Islam secara harfiah, Islam dapat dilihat maknanya dalam hadits yang menunjukkan bahwa orang-orang yang menganut Islam, adalah saudara. “muslim bersaudara dengan sesama Muslim, tidak bertindak zalim dan tidak dizalimi”.Dalam petikan hadits di atas memberikan penjelasan tentang subtansi Islam dan bukan kata Islam. Keislaman ini ditunjukan oleh perkataan dan perbuatan. Islam juga sesuatu yang dihasilkan oleh perkataan dan perbuatan, misalnya persaudaraan, kesejahteraan, dan perdamaian.[15]Dalam kitab Sahih Muslim, diawali dengan riwayat tentang arti kata Islam, sekaligus juga kata Iman dan akhirnya Ihsan. Inilah trilogi ajaran Islam dalam prespektif perbandingan maknanya kata iman dan ihsan.b. Pengertian TradisiKiranya itilah “tradisi” bagi kehidupan sehari-hari bagi masyarakat sudah kenal betul, Seperti tradisi mudik ketika lebaran Idul Fitri tiba, tradisi masyarakat nelayan sebelum berangkat melaut yang disebut nyadran, dan tradisi buka pintu dalam perkawinan di Serang Banten, dan lain sebagainya. Tradisi ini bagi masyarakat setempat merupakan presepsi sendiri, dan biasanya tradisi juga menunjukan norma, etika, dan simbol-simbol tertentu.Setidaknya ada dua istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan, baik ataupun jelek, sudah lama dan mengakar kemudian masih dilakukan oleh orang-orang sesudahnya. Prilaku itu lebih tampak lagi bila ada jejak-jejak atau bekas yang dapat ditelusuri asal-usulnya, meskipun tidak selalu dapat ditemukan sehingga menjadi warisan yang masih dapat dipelihara, dijaga ataupun diteruskan. Itilah-istilah tersebut adalah adat-istiadat atau tradsi.Secara etimologis tradisi berasal dari kata latin traditum, yaitu sesuatu yang dapat diteruskan (transmitted) dari masa lalu ke masa sekarang.[16] Menurut G Kartasapoetra, dan Kartini, mengatakan bahwa tradisi yaitu kebiasaan berupa adat istiadat yang selalu dipelihara turun temurun yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan.[17] Jadi tradisi merupakan warisan yang diturunkan pada generasi berikutnya untuk dilakukan terus-menerus.Tradisi juga dapat diartikan dengan adat-istiadat. Adat istiadat secara harfiyah berarti praktik-praktik yang berdasarkan kebiasaan, baik perorangan maupun kelompok, praktek kebiasaan jelek maupun baik. Misalnya kebiasaan makan pagi, sholat dhuha, bangun malam, datang ke pertemuan tepat waktu, dan lain-lain. Kebiasaan lainnya yang bersifat kolektif, misalnya syawalan, kenduri, nyadran (sedekah), muludan, sakaten, dan lain-lain.[18]Kebiasaan praktik hidup seperti di atas, tanpa disadari berubah menjadi konvensi yang dilakukan dan ditetapkan tanpa melalui proses kespakatan bersama, tetapi dianggap sebagai prilaku bersama. Kebiasaan berubah menjadi konvensi, karena dilakukan secara berulang-ulang, turun-menurun, meskipun tanpa hubungan yang rasional. Karena dilakukan berulang-ulang, maka kebiasaan itu menampakkan jeleknya atau ada bekasnya, sehingga dapat dilihat dan ditiru oleh orang lain yang bahkan mungkin tidak sezaman dan satu tempat. Dan inilah disebut asar.[19]Asar adalah petunjuk atau tanda adanya sesuatu. Karena itu, asar secara sederhana diterjemahkan dengan “bekas sesuatu” yang dapat dilihat atau diamati. Sementara tradisi adalah nilai-nilai aturan perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain tradisi adalah nilai yang diberikan pada suatu kebiasaan atau adat istiadat, baik kebiasaan jelek maupun baik.[20]Namun ada kemungkinan di masyarakat muslim terdapat akultrasi adat-istiadat timbal balik antara Islam dan budaya lokal, hal ini juga dapat diketahui dalam suatu kaedah ushul fiqh, yaitu “adat itu dihukumkan” artinya al-adah muhakkamah, atau juga “adat adalah syari’ah yang dihukumkan” artinya al-adah syari’ah muhakkamah, yang artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, yaitu sumber hukum dalam Islam.[21]Dalam bahasa kaedah ushul fiqh lainnya, dapat ditemukan adat istiadat atau tradisi tersebut diwakili oleh urf. Urf secara etimologis berasal dari akar kata yang sama dengan al-ma’ruf.[22] Akan tetapi berbeda dengan adat istiadat dan tradisi, kata urf hanya digunakan untuk menggambarkan adat-istiadat dan tradisi yang baik menurut ukuran masyarakat dan tidak bertentangan dengan syari’ah.[23]Ada sedikit perbedaan yang nampak dalam menyikapi kata tradisi, yang akhirnya muncul kata tradisionalitas, dan tradisionalisme. Suatu tradisi belum tentu semua unsurnya tidak baik, maka harus dilihat dan diteliti mana yang baik untuk dipertahankan dan diikuti. Sedang tradisionalitas, adalah pasti tidak baik, karena ia merupakan sikap tertutup akibat pemutlakan tradisi secara keseluruhan, tanpa sikap kritis untuk memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk.[24]Karena itu bagi banyak orang tidak jelas memahami perbedaan “tradisi” dan “tradisionalitas” itu, maka sering muncul pandangan dikotomis antara “tradisi” dan “modernitas”. Selanjutnya dalam pandangan, bahwa “tradisi” bertentangan dengan “modernitas”, atau sebaliknya “modernitas” selalu bertentangan dan melawan dengan “tradisi”.[25] Sementara itu pula masyarakat Barat menganggap modernitas, atau modernisme, didefinisikan dengan fikiran, aliran, gerakan, serta usaha-usaha untuk merubah faham-faham, adat-istiadat, institusi-institusi lama, sesuai dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi modern.[26]Sementara kata tradisionalisme, lebih menunjukkan sikap atau kecenderungan sesorang untuk melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan tradisi masa lalu atau mengikuti pekerjaan nenek moyang.[27] Tradisionalisme bila dipadankan dengan makna sikap dan faham tradisionaal maka dapat melahirkan suatu sikap cenderung selalu memegang teguh tradisi warisan masa lalu, biasanya dapat dijumpai pada orang-orang atau masyarakat yang justru tidak mengenal dengan baik tentang arti warisan masa lalu. Mereka cenderung mengikuti aturan yang sudah baku tersebut tanpa kritis apa maksud dan tujuan yang mereka kerjakan.c. Pengertian RitualRitual adalah teknik (cara, metode, praktek) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, kata-kata seperti "amin" dan sebagainya. Menurut Riaz Hasan,[28] ritual merupakan bagian integral dari agama formal. Ia mencakup praktik-praktik keagamaan termasuk ibadah dan hal-hal yang dilakukan manusia dalam melaksanakan perintah agamanya. Salah satu ritual yang paling kuno adalah ziarah (ziarah kubur, naik haji, dan lain-lain), upacara penyucian, pembersihan, lalu upacara inisiasi (masuk, misalnya masuk manjadi anggota, hamil 7 bulan, masuk akil balik, dan lain-lain). Namun bentuk yang paling lebih modern adalah doa, bacaan bersahutan, dan lain sebagainya. Ritual pertamanya sering bersifat sosial, kemudian menjadi ekonomis, lalu berkembang menjadi tatacara suci agama.Semua agama berisikan ritual, do’a, puja-puji, dosa, dan ketakwaan, meski peneknan yang diberikan berbeda atas nilai-nilai tersebut. Dalam analisis sosiologis, ritual dianggap memainkan peran penting dalam mempertahankan institusi, komunitas, dan identitas agama. Partisipasi dalam rituaal kolektif keagamaan berperan sebagai sosialisasi individu untuk menerima secara tidak sadar nilai-nilai kebersamaan dan kategori pengetahuan dan pengalaman.[29]Dalam hal ini pula definisi agama menurut Durkheim[30] adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang suci kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat suci" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.Suatu agama selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, kedua, praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya. Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang suci dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kesucian" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "suci" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang suci. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.[31]Namun demikian, analisis ritual agama dapat dilakukan paling tidak melalui dua cara. Pertama, dengan membedakan individu dalam prekuensi mereka melakukan aktivitas ritual. Kedua, memfokuskan pada makna ritual bagi individu yang melakukannya. Analisis yang dilakukan disini akan memfokuskan pada cara yang pertama, namun juga beruasaha untuk membahas pernyataan tentang makna.[32]Islam merupakan agama yang kaya dengan ritual. Kaum muslim diperintahkan untuk melaksanakan ritual-ritual tertentu sebagai ungkapan kepercayaan mereka. Ritual-ritual seperti shalat lima waktu dan wudhu sudah menjadi dan masih merupakan hal yang paling penting dalam membangun rasa keberagamaan di kalangan masyarakat muslim. Frekuensi dalam melaksanakan ritual merupakan indikator penting untuk melihat tingkat keberagamaan sesorang. Jadi, ritual berikut ini dipilih untuk menguji dimensi ini : melaksanakan shalat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, dan mengeluarkan zakat. Analisis difokuskan pada prekuensi dan ketarturan pelaksanaannya. Salah satu asumsi yang ada adalah bahwa ritual-ritual ini saling berhubungan baik pada tingkat individu maupun kelompok masyarakat.Namun demikian ritual cenderung untuk menjadi pengganti agama. Ini bahaya untuk agama yang cenderung berpusat pada ritual. Orang hanya mengikuti ritual tanpa tahu dan menghayati keimanan dan perkembangan kerohanian dengan baik. Ritual menjadi kebiasaan, menjadi agama tersendiri. Oleh karena itu ritualitas memiliki hambatan, seperti : 1). menghambat perkembangan kerohanian. Sulit mengembangkan kerohanian dan perbaikan doktrin bila agama dipenuhi oleh ritual dan dikuasai para imam ritual. 2). Menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Ini telah terbukti sepanjang sejarah manusia, yang mengatakan ritual-ritual yang panjang dan melelahkan telah menjadi kutuk bagi bangsa-bangsa selama ribuan tahun. 3). Ritual bisa berpotensi menolak pembaruan dan kebenaran.Ritual ada pula dampak positifnya : 1). Stabilisasi peradaban. Misalnya di bangsa-bangsa yang memeluk Islam, terlihat lebih stabil dengan adanya keseragaman ritual. 2). Peningkatan jenis budaya tertentu. Kita melihat misalnya di Bali, ritualnya bermanfaat bagi turisme dan pengembangan seni). 3). Membantu pengendalian diri manusia.B. Karakteristik dan Pencitraan Masyarakat TradisionalKetika Islam hadir (dengan turunnya al-Quran), Islam berhadapan dengan tradisi atau budaya yang sudah mapan. Islam atau al-Quran tidak lahir dalam masyarakat hampa budaya. Turunnya al-Quran terkadang juga sebagai respon atas budaya atau tradisi yang ada sebelumnya.Hal ini pun terjadi Islam di Indonesia, meskipun bangsa muslim terbesar di dunia. Indonesia adalah bangsa yang paling sedikit mengalami Arabisasi dibanding negara-negara muslim besar lainnya. Di samping itu proses Islamisasi di Indonesia berlangsung dalam cara yang sering disebut sebagai penetration pasifique (penetrasi secara damai), terutama oleh para pedagang-cum-dai (pendakwah). Hasil dari Islamisasi seperti inilah membawa praktik sinkritisme yang luas dikenal di Indonesia.[33] Dari praktik sinkritisme ini timbul salah satu indikasi yang mempertahankan penanggalan Hindu, yaitu dengan tahun saka. Tidak hanya penanggalan praktik-praktik tradisi ritualitas nenek moyang pun masih dipertahankan di masyarakat luas.Karena itu karakteristik masyarakat tradisional, seperti halnya yang dikemukakan oleh Nasrul Luth,[34] terdapat tiga karakter, yaitu Pertama, secara geografis masyarakat tradisional berada di wilayah pedalaman suatu daerah yang terpencil jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, masyarakatnya bersifat homogen, cenderung fanatik terhadap aturan bersama dan mengikat satu sama lainnya. Ketiga, cenderung esklusif menutup hal-hal baru yang datang kepada mereka, terikat dengan aturan, norma dan kebiasaan yang mereka lakukan.Berbeda dengan Ernest Gellner sebagimana yang dikutip oleh Riaz Hasan, yang mengembagkan tipologi tradisi-tradisi atau model masyarakat tradisional dan modern dalam Islam yang ia sebut, Pertama, Islam Tinggi (high Islam) yang dibawa oleh sarjana perkotaan berpendidikan, dan umumnya dari kelas borjuis pedagang, yang merefleksikan keinginan dan nilai-nilai kelas menengah kota. Islam Tinggi bersifat skriptualis, menekankan hukum, puritan, literal, sederhana, egalitarian, dan anti ekstasisme. Kedua, Islam Rakyat (folk Islam), yaitu muslim dari massa rakyat, terutama masyarakat desa dan anggota suku, sebagian besar tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Kelompok ini dipengaruhi oleh kebutuhan dan tingkat kecenderugan mereka secara mendalam. Mereka percaya khurafat, suka ekstasisme, hirarkis, suka tawasul, dan sifat lembaganya adalah adanya pemujaan kepada wali.Senada juga apa yang dikatakan oleh Kontjraningrat,[35] bahwa di masyarakat tradisional masih terdapat dan berlakunya penghormatan yang berlebihan terhadap suatu ajaran nenek moyang, dan juga masih bersikap fanatisme berlebihan terhadap individu-individu masyarakat seperti tokoh masyarakat, ulama, kiyai, ahli adat, kepala suku dan lain sebagainya yang dianggap dan diperlukan sebagai satu-satunya orang dan sebagai tempat meminta nasihat atau petuah-petuah.Namun kedua tradisi Islam ini berhubungan dengan ciri yang spatial (berhubungan dengan tempat) yang dominan dari struktur masyarakat muslim, yakni kota dan desa. Islam Tinggi bisa dikatakan bukan dari sebuah kelanjutan dari pengabdian Islam yang murni dari Nabi Muhammad SAW., dan para sahabatnya, tetapi sebuah tradisi yang menempati kedudukan yang tinggi dalam peradaban muslim. Sementara Islam Rakyat merupakan kebutuhan struktural, tradisi ini memerankan peran yang dominan dalam sejarah masyarakat muslim.[36]Kedua tradisi ini hidup berdampingan dalam lingkungan yang ramah, tetapi selalu ada ketegangan dari waktu ke waktu dalam bentuk gerakan pembaruan puritan, yang bertujuan untuk mengubah tradisi kerakyatan menjadi pencitraan tradisi yang tinggi. Sehigga ada sebuah mekanisme membersihkan diri (self purifying), dan membenarkan diri (self rectifying). Fazlur Rahman, berpendapat dengan tipologi masayarakat Islam, ia sebut dengan Islam Rakyat dan Islam Modern. Rahman mencontohkan masyarakat Islam di Indonesia, yaitu dengan Nahdaltul Ulama sebagai tradisi Islam Rakyat, dan Muhammadiyah sebagai Islam Modern.[37]Islam Rakyat terikat pada tradisi kaku, sementara Islam modern bersifat ’intlektual’ dan mendukung adanya perubahan dan pembaharuan dengan berlandaskan prinsip umum (Islam normatif) yang terkandung dalam al-Quran. Islam modernis bersifat literal, intelektual dan terbuka untuk memformulasikan kembali pandangan al-Quran berdasarkan studi faktual mengenai kondisi sosial.[38] Yang jelas wacana masyarakat modern secara eksplisit atau implisit mengartikulasikan pencitraan terhadap Islam.C. Pengertian Muludan atau Panjang MuludMuludan atau Maulid secara etimologi adalah yang telah dilahirkan yang. Kata ini berasal dari kata bahasa Arab, yaitu waladun.[39] Maka mulud adalah Upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) atau dalam penanggalan Islam yaitu pada bulan Rabiul Awal. Pada bulan Rabiul Awal ini, bagi sebagian orang Jawa dianggap bulan pembawa berkah. Karena di bulan Rabiul Awal yang dalam tarikh Jawa disebut bulan Mulud, banyak orang ketiban rezeki dari tradisi perayaan Sekaten, Panjang Mulud atau grebeg Mulud. Bahkan, sebagian masyarakat Jawa generasi tua percaya, mitos Sekaten bisa membuat orang panjang umur.[40] Sebagian masyarakat mengartikan panjang mulud karena berkaeyakinan dengan merayakan mulud ini akan diberi berkah dengan panjang umurnya.Perayaan memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw atau Maulud Nabi dengan tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, boleh dikata sebagai loro-loroning atunggal. Yakni, dua napas tradisi budaya yang berbeda namun luluh menyatu menjadi sebuah tradisi keagamaan yang khas. Perayaan memperingati Mualud Nabi Muhammad SAW, di Banten di kenal dengan Muludan atau Panjang Mulud. Sebenarnya ritual ini disebut pesta rakyat, karena "ritual" tahunan itu berpuncak pada acara memperebutkan isi tumpeng. Tua muda, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa saling berebut untuk mendapatkan tumpeng. Menurut warga, isi tumpeng itu diyakini membawa berkah dalam hidup mereka.Konon, tradisi Panjang Mulud atau Sekaten yang merupakan media dakwah agama Islam tersebut diciptakan seorang wali Kanjeng Sunan Kalijaga. Jika merunut hikayat semasa hidup Sang Wali, berarti tradisi Sekaten telah melintas beberapa generasi, sejak kerajaan Demak Bintoro, Keraton Pajang, Keraton Mataram Kuna sampai zaman Keraton Kasultanan Yogjakarta dan Kasunanan Surakarta sekarang ini.[41]Tradisi Panjang Mulud dirayakan masyarakat Banten untuk memperingati Hari Kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad SAW. Tidak diketahui pasti kapan tradisi itu muncul di Banten. Beberapa spekulasi menyebutkan, tradisi panjang mulud lahir pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672).Ada juga yang berpendapat, panjang mulud bermula pada masa Sultan Banten kedua, Maulana Yusuf (1570-1580). Namun, mulai melibatkan masyarakat secara massal pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat kaburnya jejak sejarah itu, warga setempat hanya mengatakan bahwa perayaan itu untuk melestarikan tradisi para pendahulu mereka.Panjang Mulud Dan Tradisi Ritualitas KeagamaanA. Akar Sejarah MaulidSetiap bulan Rabi’ul Awal, umat muslim khususnya umat muslim di Banten sibuk menyiapkan berbagai macam agenda dalam rangka memperingati kelahiran Rasulallah SAW., yang jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal, penggagas pertama kalinya yang memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, adalah Sholahuddin Yusuf Al Ayyubi, yaitu panglima perang Mesir. Ia mengusulkan ide maulid Nabi kepada Sultan Mesir, Muzaffar bin Baktati yang terkenal arif dan bijaksana. Sholahuddin Yusuf Al Ayyubi, panglima perang pada masa masa Khalifah Muiz Liddinillah dari dinasti Bani Fathimiyah di Mesir pada tahun 365H/975M.[42]Gagasan Saladin sangat sederhana, pada masa itu masjid Al Aqsa di ambil alih dan diubah menjadi Gereja. Kondisi tersebut diperparah oleh keadaan pasukan Islam yang mengalami penurunan ghairah perjuangan dan menipisnya tali persaudaraan (ukhuwah Islamiyah). Dari latar belakang ini Sultan Saladin menginginkan kembali semangat juang dan persatuan umat dengan cara merefleksikan dan mempertebal kecintaan Nabi yang disambut luar biasa oleh seluruh kaum muslimin.[43]Juresalem berhasil direbut kembali, di bawah pimpinan Sultan Saladin, dalam peperangannya dengan tentara salib, korban dari pihak Islam jatuh dengan jumlah yang sedikit. Tidak seperti kaum Kristen ketika merebut Juresalem yang membunuh kaum muslim seluruhnya. Justru sikap Sultan Saladin yang tidak memiliki sifat balas dendam, mengawal tentara salib yang tersisa guna diselamatkan jiwanya setelah mereka mengatakan menyerah.[44]Versi lain dalam memperingati maulid Nabi Muhammad, adalah terjadi di Irak sekitar 500 tahun setelah Rasulallah meninggal. Afad bin Adzam adalah yang mempelopori peringatan maulid Nabi untuk pertama kalinya, namun proses peringatan maulid ini gagal. Pada peringatan maulid ini, dilakukan penyembelihan lima ekor unta dan 15 ekor kambing. Hal ini umat Islam hanya mementingkan perut dari pada hikmah maulid itu sendiri.[45]Kegagalan kedua dalam memperingati maulid, adalah yang dipelopori oleh Al Khawatsibi dengan kasus yang sama. Baru pada saat Saladin melaksanakan peringatan maulid untuk ketiga kalinya, ia berhasil dan direspon positif oleh umat. Bahkan umat Islam juga mementingkan hikmah uswatun hasanah dalam rangka menyiarkan ajaran Islam.[46]B. Panjang Mulud dan Tradisi AgamaTidak diragukan lagi masyarakat Banten dikenal masyarakat yang religius, hal ini memiliki sejarah yang panjang. Di dalamnya telah terjadi pergulatan yang intens dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya bahkan agama.Selain aktifitas yang memiliki jam terbang yang tinggi para tokoh masyarakat Banten pun mengerahkan tujuan kehidupan bagi masyarakatnya yang akan dituju. Mereka inipun menentukan nilai-nilai etika dalam pergulatan kehidupan masyarakat setempat.Para tokoh agama, biasanya yang memiliki pengaruh perubahan bagi suatu masyarakat dalam pergulatan kehidupan ini. Peran tokoh mampu merubah sebuah tradisi yang tadinya memiliki nilai rendah, tokoh pula yang dapat membangkitkan suatu tradisi yang berniali tinggi. Suatu tradisi yang mampu membangkitkan semangat masyarakat adalah, tradisi maulid Nabi atau panjang mulud di wilayah Banten.Sementara agama, menurut Durkheim, sebagaimana yang dikutip MA. Tihami,[47] sebagai kesatuan sistim kepercayaan dan pelaksanaan dalam hubungan dengan sesuatu yang suci (upacara-upacara), yang dilakukan itu mengikat seseorang pada moral komuniti yang disebut umat. Agama Dalam definisi ini memiliki tiga unsur yaitu, kepercayaan, upacara, dan umatnya. Selanjutnya Tihami, menjelaskan bahwa ketiga unsur tersebut terikat satu jaringan sistim yang satu sama lainnya memberikan sumbangan dalam menjalankan fungsinya. Manusia dalam hal ini disebut umat merupakan unsur agama, yang disebut jama’ah. Sebutan ini muncul karena umat agama memiliki keterikatan dalam menjalankan ritualitas dan upacara-upacara dan keyakinan yang pada akhirnya berwujud dengan moral komuniti.Definisi dan unsur agama di atas berlaku pula bagi agama orang-orang kampung Tanggul Cimuncang. Dalam hal ini unsur ritual (upacara) yang paling dianggap penting, hal ini agama dalam bentuk nyatanya adalah upacara atau ritual. Maka bagi orang-orang yang melakukan ritual berarti orang dianggap beragama. Maka agama adalah serangkaian upacara yang diberi rasionalisasi oleh mitos. Upacara yang diangap penting adalah yang mampu mengikat jama’ahnya dalam satu komunitas, sehingga lambang upacara berarti juga lambang masyrakat. Satu tradisi upacara yang dilaksanakan suatu masyarakat secara gotong royong melambang kebersamaan dan menjadi ajang komunikasi yang ampuh bagi warga masyarakat.[48]Masih menurut Tihami, tradisi upacara yang diselenggarakan bersama diatur berdasarkan pembagian tugas, yaitu imam dan makmum. Meskipun dalam berbagai upacara pembagian tugas ini berbeda-beda namanya. Termasuk di dalam tradisi panjang mulud yang di lakukan di kampung Tanggul yang memiliki tokoh upacara yaitu, imam dan kiyai.Haji Asl, menyatakan bahwa kedahe imam agama niku sing ngederebeni ilmu sing luhur kanggo ngisungi wejangan-wejangan agama kangge masyarakat puniki, napa malih kangge menghadapi upacara panjang mulud kedah ngederebeni ilmu maca alquran sing tartil, bagus qiroate, lan terakhir ngederbeni karismatik, (pemimpin atau imam harus memiliki ilmu agama untuk memberi nasihat kepada masyarakat, apalagi untuk memimpin upacara tradisi panjang mulud yang harus memiliki pembacaan ayat alquran yang bagus, tartil, dan karismatik).Imam ialah pemimpin upacara, ia memiliki pengetahuan yang lebih tentang agama dan upacara-upacaranya dibandingkan dengan makmum. Dan makmum sebagai pengikut dan peserta upacara. Oleh karena itu imam tempat bertanya tentang permasalahan agama, baik di rumahnya ataupun di tempat-tempat lain, sebagai nasihat kepada makmum.[49] Sementara kategorisasi imam dalam panjang mulud, yaitu orang yang memimpin upacara baca dzikir panjang mulud. Masih menurut Haji Asl, pemimpin ini biasa membawa makmum satu kelompok antara 25 orang hingga 100 orang untuk membaca wiridan dzikir, tawasul kepada Allah dan Nabi Muhammad. Sementara makmum, adalah orang yang mengikuti si imam dalam upacara tertentu sampai ia selesai mengikuti upacara.Imam yang dimaksudkan dalam Haji Asl, adalah imam yang memimpin upacara tradisi panjang mulud yang ada di Kampung Tanggul Cimuncang, namun sebelum pelaksanaan tradisi panjang mulud di Kampung ini, dibentuk suatu kepanitiaan terlebih dahulu. Dalam kepanitiaan ini terdapat pemimpin[50] atau ketua, sekretaris, bendahara, dan setrusnya yang mengorgansir pelaksanaan panjang mulud. Biasanya yang dijadikan ketua dalam tradisi panjang mulud ini para tokoh yang dianggap memiliki pengetahuan yang tinggi.Imam dan makmum[51] sebenarnya yaitu kelompok dzikir dalam pelaksanaan tradisi panjang mulud, yang dapat diundang oleh kelompok panitia panjang mulud. Kelompok dzikir Imam dan makmum ini terdiri dari beberapa kelompok, yang masing-masing bergantian membaca dzikir. Dalam tradisi panjang mulud kelompok dzikir ini biasanya terdiri 2-3 kelompok, selanjutnya pihak panitia menilai kelompok mana yang memiliki bacaan, kefasihan, ketartilan, serta qira’atnya yang bagus itulah yang menjadi pemenang dzikir, dan kelompok dzikir berhak menerima panjang mulud yang disediakan oleh panitia.Dalam pelaksanaan tradisi panjang mulud seorang imam, harus pandai berdzikir, bertawasul, membaca ayat-ayat alquran, dengan tartil, dan bahkan si imam harus memiliki bacaan ayat alquran dengan qira’at al sab’ah.C. Prosesi Panjang MuludMasyarakat kampung Tanggul memiliki ghirah yang tinggi dalam mempersiapkan tradisi panjang mulud. Tradisi ini bagi merka merupakan ajaran yang mereka yakini bahwa penghormatan terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW, adalah ajaran yang memiliki tradisi yang baik dan tidak melanggar ajaran agama.Menurut, Haji Syhd, perayaan mulud pada tahun ini masyarakat memiliki ghairah yang tinggi sehingga masyarakat tidak segan-segan merefleksikan tradisi panjang mulud ini dengan ikhlas mengeluarkan panjang-panjang yang bervariasi, terbukti dengan antusiasnya warga yang terdata oleh panitia terdapat 78 panjang, belum yang terdata mereka biasanya mengikuti perayaan ini pula.Prosesi awal dalam perayaan maulid Nabi, adalah membentuk kepanitiaan yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu dari pemerintahan tingkat bawah seperti RT, dan RW sampai k kelurahan, dan Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM). Kepanitiaan terdiri dari Ketua Umum, Wakil Ketua, dan koordinator-koordinator, salah satunya adalah koordinator pendataan panjang. Koordinator ini memiliki peran juga dalam jalannya praktek ritual mualid Nabi, pendataan ini tentu dapat mengindikasikan sebuah antusiasme pada masyarakat.Setelah pendataan selesai, barulah tinggal perayaan yang dipusatkan pada masjid al-Muhairin Kampung Tanggul Cimuncang. Prosesei parayaan upacara panjang mulud ini meliputi : selamatan, tahlil, do’a, hikmah maulid pada malam harinya, baru esok pagi perayaan panjang mulud.Selamatan bagi warga Tanggul merupakan refleksi perayaan yang dipusatkan di masjid yang masing-masing warga membawa hidangan makanan, dan ngeriung sambil membaca tahlil dan do’a. Prosesi selamatan ngeriung ini biasanya dilakukan setelah melakukan sholat maghrib atau isya tergantung kesepakatan.Hikmah maulid, merupakan prosesi acara selanjutnya, bagi masyarakat Kampung Tanggul yang menghendaki siraman rohani, yang berkaitan dengan kehidupan sejarah Nabi, yang berusaha dikaitkan dengan kehidupan masa kini. Acara hikmah maulid ini dapat dilaksanakan setelah ba’da isya sampai tengah malam, yang sebelumnya dilakukan acara selamatan ngeriung.Tepat pada jam 07.00, pagi panjang mulud dijejerkan di depan rumah warga masing-masing, sambil menunggu waktu yang tepat untuk dihantarkan dan jemput ke masjid, panjnag-panjang yang berupa macam-macam bentuknya ini dipertontonkan dahulu, di jalan-jalan.Sementara di dalam masjid terdapat beberapa kelompok pendzikir yang di datangkan dari kampung sekitar. Menurut Haji Syhd, kelompok pendzikir ini biasanya kita undang maksimal tiga kelompok namun pada tahun ini hanya dua kelompok saja. Kelompok pendzikir ini dari tetangga kampung seperti Ranca Talas, dan dan juga dari kecamatan Taktakan yaitu desa Drangong. Kelompok pendzikir ini membaca tahlilalan dan membaca kitab Barjanji secara bergantian, mengiringi datangnya panjang-panjang mulud di depan masjid.Tepat pukul 09.00, panjang-panjang yang dijejerkan di jalan, dijemput sekolompok penjeput terdiri dari 10-25 penjemput dengan berpakaian baju taqwa, sambil membaca sholawatan, dan membawa alat musik terbang gede. Kelompok penjeput ini terdiri dari dua kelompok. Kelompok Pertama, terdiri 10-25 orang sambil membawa alat kesenian terbang gede,[52] patingtung, dan rebbana, mereka menabuh alat ini sambil membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW., berpakaian baju putih dan bercelana panjang, dihiasi pakaian sarung yang dilipat setengah dari pinggang sampai lutut. Kelompok kedua, teridiri dari 10-20 orang membawa alat kesenian rebbana, sambil menjemput panjang-panjang mulud mereka juga membaca tahlil dan sholawat kepada Nabi, mereka berpakain baju taqwa berwarna putih. Adapun tahlil dan sholawat yang mereka nyanyikan adalah :Laa ilaha Illallah Muhammad RasulallahAllahu Laa ilaha Illallah Muhammad RasulallahAllahu Laa ilaha Illallah Muhammad Rasulallah Sholatulllah salamullah ‘ala toha RasulillahSholatullah salamullah ‘ala yasiin habibillahTawaslna bibismillah wabilhadi rasulillahWakullli mujahidillillah bi ahli badriya AllahDan mereka juga menyayikan lagu-lagu seperti :Hayu kabeh dulur-dulur dadi wong aje takaburHayu kabeh dulur-dulur dadi wong aje takaburHayu kebeh dulur-dulur maring Allah kudu SyukurInget kangge ning kuburMenurut Haji Syhd, kelompok penjeput panjang mulud ini tujuannya hanya untuk memeriahkan saja, dan juga melestariakan kesenian terbang gede dan rebbana yang pada saat ini sudah ditinggalkan oleh masyarakat kita sendiri karena terbawa oleh arus modernisasi.Penjemputan panjang dari rumah-rumah ini berakhir pada pukul 11.30, sebelum pelaksaanan sholat dzuhur, para penjemput dan pembawa panjang beristirahat sambil menungu sholat tiba, terdapat prosesi saweran yang ditujukkan kepada kelompok penjemput panjang atau kelompok terbang gede, dan rebbana. Saweran syukuran ini dimaksudkan telah selamatnya membawa panjang-panjang mulud dari rumah-rumah warga menuju ke masjid. Nominal dari saweran yang dilemparkan ke kelompok penjemput panjang mulud, terdiri dari nilai mata uang seribu hingga lima puluh ribu rupiah.Setelah sholat dzuhur, kelompok pendzikir kembali membacakan sholawat dan membaca marhabanan yang dipimpin oleh para kiyai yang diundang. Setelah pembacaan ini barulah panjang mulud dapat dibagi-bagikan kepada para undangan dan orang-orang sekitar yang dianggap fakir, yang tidak lain disebut orang-orang ngeropok.D. Unsur-Unsur Panjang Muluda. Panitia Panjang MuludSuatu kelompok yang terorganisir memiliki fungsi-fungsi yang mengatur lancarnya prosesi terjadinya tradisi panjang mulud. Untuk mewujudkan suatu kepanitaan ini, diawali dengan rapat Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) setempat, karena DKM merupakan organisasi tertinggi keagamaan dilingkungan kampung karena memang demikian para pengurus DKM, mengundang para kiyai, tokoh, dan unsur pemuda.Kepanitiaan yang berlaku biasanya sampai tiga minggu hingga akhir acara tradisi upacara panjang mulud selesai. Panitia panjang mulud bertanggung jawab penuh pada masyarakat dan DKM sukses tidaknya upacara tradisi panjang mulud.b. Kelompok PendizikirMenurut Lukman Hakim,[53] sejarah zikir mulud sudah populer pada tahun 1927-1940, di suatu desa Serdang, Kecamatan Kramatwatu Serang, ada lima orang ulama, yaitu KH Dali, KH. Dulfatah, KH. Umar, KH. Muhriji, dan KH. Balhi yang berguru pada seorang tokoh ulama KH. Erab, sebagai ulama guru zikir yang populer di Banten. Seni zikir yang dipelajari oleh kelima ulama di atas, merupakan cikal bakal munculnya zikir mulud. Sehingga tidak heran seni zikir ini berkembang sampai ke generasi ke-6. Pada tahun 1940-1955, zikir mulud lebih berkembang lagi dengan generasi keduanya, yaitu : H. Said dan KH. Ahya. Dan pada tahun 1955-1965 merupakan tahun generasi yang ketiga, dengan tokohnya, yaitu H. Surni Afik, A. Sakun, Hamami, Ki Hamdani, dan Ki Jane. Pada generasi ketiga inilah sebenarnya seni zikir panjang mulud sudah terebar termasuk di Kapung Tanggul Cimuncang Serang. Menurut Haji. Aslh, ketika ia umur enam tahun zikir mulud dan panjang mulud sudah ramai di Kampung Tanggul.Dalam pelaksanaan zikir mulud yang ada di Tanggul biasanya tampil dengan 50 orang dalam satu kelompok, dan biasanya pula dalam upacara tradisi baca zikir panjang mulud terdiri dari dua kelompok pembaca seni zikir mulud. Yang masing-masing memiliki tugas tersendiri. Kelompok pertama sebagai pembawa soal dalam lafadz-lafadz zikir, sedangkan kelompok kedua sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan kelompok pertama yang disampai dengan lafadz-lafadz zikir pula.Para kelompok pezikir ini membacakan kitab Barjanzi, yang biasanya lagu-lagu tersebut tidak berubah sepanjang tahunnya. Dalam kitab ini memiliki 16 lagu-lagu. Ketika posisi duduk, lagu yang dibawakan pezkir adalah, assala, alfasa, tanakal, walidal, singkir, dzikrun, dan badat. Namun dalam posisi berdiri pezikir membacakan lagu hanya satu, yaitu : ya Nabi salam. Kemudian dilanjutkan lagi dengan posisi duduk yang kedua, dengan membacakan lagu-lagu terdiri dari 8 lagu, yaitu : ya Nuur, Futur Kulwas, Ta’lam, Masmis, Wulidang, Talaubina Jalar nama, dan Habibun.[54] Para pezikir ini tidak berhenti membaca selama 12 jam dengan istirahat pada waktu sholat dzuhur, yang dilanjutkan samapai sholat ashar. Para pezikir dalam upacara tradisi panjang mulud kali ini dengan memakai pakaian seragam baju taqwa.c. Kelompok JuriUntuk memeriahkan dan menambah semangat para pembaca zikir mulud, dalam prosesi panjang mulud di Kampung Tanggul Cimuncang, maka kedua kelompok tersebut dilombakan. Menurut Haji Jhd Krm. Dilombakan baca zikir ini tidak lain hanya untuk memriahkan saja, dan memberi semangat. Menurutnya kreteria lomba baca zikir ini, yaitu : memiliki kekompakan, suara yang indah, tajwid, dan qiroa’tnya.Kelompok juri diambil dan diundang dari kampung tetangga yang benar-benar memiliki kemampuan menilai dari hasil bacaan zikir tersebut. Kelompok juri ini terdiri dari tiga orang.d. Kelompok NgeropokIstilah ngeropok berasal dari bahasa jawa Serang, yang arti secara bahasanya tidak bisa ditemukan secara pasti, namun dari beberapa analisa dapat artikan bahwa ngeropok merupakan istilah yang ada di tradisi upacara panjang mulud di Serang Banten, yang artinya sekolompok atau individu orang yang datang dan mengikuti prosesi upacara panjang mulud yang sebelumnya tidak diundang, dengan harapan mendapat berkat,[55] dari panjang-panjang mulud yang tersedia. Dan biasanya mereka ini mendapatkan berkat seperti, berkat nasi dan lauk pauk riungan, dan sebagainya.Berbeda juga dengan sekolompok atau individu ngeropok undangan, menurut Haji Syhd, mereka yang diundang dalam upaacara tradisi panjang mulud, yaitu teridiri dari kiyai, ustadz, pemerintahan, kelompok swasta, dan sebagainya. Mereka mendapatkan berkat yang ditentukan oleh panitia.e. Kelompok Pembuat PanjangKelompok ini teridiri dari individu mapun kelompok, dan tidak diwajibkan bagi masyarakat Kampung Tanggul, untuk membuat panjang mulud namun untuk merefleksikan perayaan maulid Nabi SAW, mereka berusaha mwujudkan perayaan upacara tradisi panjang mulud. Mereka sejak malam harinya membuat panjang mulud berbagai macam variasi dan tidak ditentukan oleh panitia. Panitia hanya menghimbau bahawa panjang-panjang mulud, tidak lagi dimasak nsmun berupa mentahnya seperti beras, mie instans, danlain-lain.Menurut Haji Sbhs, panjang mulud sebenarnya tidak ada perubahan yang berarti, hanya merubah dari yang masak beralih ke mentahnya saja. Bila beras dimasak menjadi nasi dan dilengkapi dengan lauk pauk dimungkinkan akan mubazir. Panjang mulud beralih ke mentahnya karena praktis dan efesien dan bisa dimasak sekarang atau nanti.Masyarakat Kampung Tanggul dalam membuat panjang mulud, kecil maupun besar bentuknya, atau nilai nominal rupiah kecil atau besar bukan merupakan sebuah prestise, namun mereka niat karena Allah SWT, demikian yang diungkapkan Haji Sbhs. Lillahi Ta’ala yang diungkapkan Haji Sbhs, merupakan sifat masyarakat karena mereka ingin beribadah dan memperingati dan merefleksikan perayaan maulid Nabi SAW. Menurutnya panjang mulud yang pernah terjadi di Kampung Tanggul dengan nominal yang besar adalah 5 (lima) ton beras.E. Panjang Mulud dan Simbol AgamaIstilah panjang, tidak terkait dengan panjang pendek sebuah meteran, namun panjang ada kaitannya dengan pajang, yaitu memajangkan (show up; memperlihatkan), menyumbangkan suatu bentuk barang makanan atau hadiah-hadiah kepada Nabi SAW, kemudian diberikan ke fakir miskin. Dengan demikian panjang mulud, merupakan memajangkan dan menyumbangkan hadiah berupa makanan yang khas, seperti nasi dan lauk pauknya. Panjang-panjang ini dihias bermacam-macam bentuknya, sepertibentuk perahu, kapal terbang, ka’bah, kubah masjid, dan lain sebagainya.Awal mulanya panjang mulud berkisar pada nasi dan ditempatkan pada wakul (bakul), namun perkembangan zaman, bakul berisi nasi dan lauk pauk dihias dengan berbagai macam warna, dan yang lebih menarik lagi, menghias telor dengan berbentuk bunga mawar. Dan untuk lebih praktisnya lagi saat ini panjang mulud tidak lagi dengan meyumbangkan makanan yang dimasak. Sehingga satu keluarga atau kelompok tidak lagi menanak nasi, melainkan menghias makanan yang tidak dimasak, dan menghias panjang dengan bermacam-macam bentuknya. Bentuk-bentuk panjang mulud yang terdapat di Kampung Tanggul, adalah : beras, telor-hias, ayam, kambing, mebel, alat-alat masak, alat transportasi, jam dinding, perahu, pesawat, ka’bah, masjid, kubah masjid, mobil, mie instan, kompor, sendal jepit, uang, kain sarung, kain panjang/benting, sajadah, karpet, risbang, dan lain-lain.Bagi masyarakat Kampung Tanggul, tradisi panjang mulud merupakan suatu perintah agama, karena kecintaannya terhadap Nabi Muhammad SAW. Kecintaan kepada Nabi dan agama inilah yang diyakini bagi mereka guna menjalankan syariat ajaran Islam.Menurut Geertz, agama sebagai sistim simbol, dan karenanya juga sisitim budaya (as a cultural system), yang menjadi acuan manusia (umat) dalam menginterpretasikan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai acuan, agama dipandang oleh umatnya dapat memberikan pemecahan maslah-masalah yang dihadapi oleh manusia, baik masalah-masalah yang dihadapi sekarang (dunia nyata), masalah-masalah nanti (akhirat), maupun masalah-masalah yang tidak tampak (dunia gaib), karena agama mempunyai tuntutan dan janji-janji kepada pemeluknya.Tuntutan dimaksud, adalah ketaatan atas kewajiban-kewajiban agama, penerimaan atas kepercayaan-kepecayaan agama, dan atas penyelenggaraan upcara-upacara agama. Selain itu juga agama menyediakan simbol-simbol sebuah tradisi yang dapat diacu oleh manusia dalam menentukan sebuah sosial, dan peranan manusia dalam kehidupannya. Peranan manusia dalam memenuhi tuntutan agama itu menimbulkan solidaritas umat, karena dalam solidaritas kebersamaan manusia dalam menjalankan upacara tradisi agama. Solidaritas kebersamaan cenderung dipertahankan, karena penyebabnya adalah agama, maka untuk solidaritas itulah agama tetap dipegangi oleh manusia.Solidaritas ini dipertahankan untuk membentuk kebersamaan dalam parayaan upacara tradisi agama, yaitu maulid Nabi Muhammmad SAW., dalam upcara ini memiliki simbol-simbol agama yang dapat dijadikan solidaritas kebersamaan dalam perayaan. Karena simbol dalam perayaan upcara panjang mulud, merupakan ajaran yang diperintahkan untuk mencintai Rasulallah SAW., bukan hanya cinta melainkan juga taat dan menjalankan perintahnya.KesimpulanTradisi panjanng mulud, bagi masyarakat Kampung Tanggul Cimuncang Serang Banten, merupakan tradisi keagamaan yang biasa dilakukan oleh umat Islam pada umumnya. Panjang mulud merupakan upacara yang di dalamnya memiliki simbol-simbol keagamaan.Panajang mulud, yang berarti memberikan dan memajangkan makanana yang pada kahirnya diberikan kepada fakir miskin. Pada awalnya panjang mulud berupa memberikan makanan yang berisi lauk pauk, namun perkembangan zaman, panjang mulud yaitu memajangkan sebuah makanan yang berbentuk hiasan-hiasan dan dalam bentuk macam ragamnya. Bentuk-bentuk panjang mulud yang dihiasi, adalah perahu, pesawat, ka’bah, masjid, kubah masjid, dan lain sebagianya.Prosesi panjang mulud memang membutuhkan waktu yang panjang dan tenaga yang cukup ekstra, apalagi pada kelompok zikir mereka harus membaca kitab barjanzi secara bergantian dengan saling memberi pertanyaan dan jawaban dalam lagu-lagu yang dibacakannya.Kelompok lain dalam perayaan tradisi panjang mulud ini adalah penjemput panjang mulud. Kelompok ini menjemputnya dengan membawa alat kesenian tradisional kesultanan Banten, yaitu terbang gede, sambil membaca sholawat, dan tahlil merka penjemput panjang mulud.Ngeropok merupakan, istilah dalam perayaan tradisi panjang mulud yang berati orang atau sekolomok orang yang mencari berkat, berkat-berkat ini dibagikan kepada orang yang ngeropok. Berbeda lagi dengan ngeropok yang diundang, kelompok ini memiliki tingkat status seperti kiyai, ustadz, dan lain-lain yang sifatnya dapat diundang, dan mereka pun dapat bekat pula.RekomendasiTradisi panjang mulud merupakan salah satu tradisi keagamaan masyarakat Serang Banten, yang peranannanya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa peran tradisi panjang mulud memiliki sumbangan yang bersifat kebersamaan, solidaritas, dan tentunya sumbangan pariwisata.DAFTAR PUSTAKABadri Yatim, Sejarah Petadaban Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 199)Calude Guillot dkk, The Sulotanate of Banten,(Jakarta : Gramedia, 1990).Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka Jaya, 1981).Elizabet K. Notingham, Religion dan Society terjm. Abdul Muis Naharong (Jakarta : Rajawali Press, 1987),Fachry Ali, Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam : rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung : Mizan, 1992).Faridatul Fauziah dkk, Perempuan Dalam Kaca Mata Kiyai dan Jawara : Studi tentang Kesetaraan Gneder di Banten, (Lapaoran Penelitian, P3M STAIN SMHB Serang, 2003). G Kartasapoetra, dan Kartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta : Bumi Aksara, 1992).Goodwill Zubir, RepublikaHarun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975).HMA. Tihami, Kepemimpinan Kiyai di Banten (Serang : P3M STAIN SMHB Serang, 1999).http://pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/15/0406.htm. http://www.jabar.go.id/user/view_menu.jsp?menu=Pariwisata&submenuLoius Ma’luf, Kamus Munjid (Beirut : Dar El-Mashreq, 1975) Hal. 917M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran Tafsir Sosial Berdasrkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta : Paramadina, 2002).Muhammad Hudaeri dkk, Tasbih dan Golok : Srudi tentang Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten (Serang, P3M STAIN SMHB Serang, 2002).Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia” dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Islam Indonesia (Bandung : Mizan, 1998) -----------------------, Cendikiawan dan Religuitas masyarakat, (Jakarta : Paramadina, 1999).-----------------------, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemiskinan, dan Kemodrnan (Jakarta : Paramadina, 2000). hal. 550Nurul Luth, Sosiologi sebuah Pengantar (Jakarta : Galaxy Puspa Mega, 1996).Republika dalam Dialog Jum’at , Salahudin dan Peringatan Maulid (Jum’at, 30 Maret 2007)Riaz Hasan, Keragaman Iman Studi Komperatif Masyarakat Muslim, terjm. Jajang Jahroni, dkk (Jakarta : Rajawali Press, 2006).Rudolf Otto, The idea of Holy (Oxford : Oxford University, 1958).Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan sosiografi (Jakarta : Bulan Bintang, tt).Soedjatmoko, Iman, Amal, dan Perkembangan “ dalam Agma dan Tantangan Zaman (Jakarta : LP3ES, 1985)Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung : Mizan, 1990)Tosihihiku Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religuitas dalam Al-Quran, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003)Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama Al-Quran : Jawaban al-Quaran terhadap Problematika Sosial (Yogyakarta : Pustaka Rihla, 2007).[1] Tosihihiku Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religuitas dalam Al-Quran, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), hal. 19.[2] Ibid[3] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung : Mizan, 1990) hal. 29[4] Fachry Ali, Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam : rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung : Mizan, 1992). Hal. 18[5] Ibid[6] HMA. Tihami, Kepemimpinan Kiyai di Banten (Serang : P3M STAIN SMHB Serang, 1999). Hal. 1[7] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka Jaya, 1981).[8] Fachry Ali, Bahtiar Effendy, Ibid[9] Nurcholish Madjid, Cendikiawan dan Religuitas masyarakat, (Jakarta : Paramadina, 1999). Hal. 9[10] Soedjatmoko, Iman, Amal, dan Perkembangan “ dalam Agma dan Tantangan Zaman (Jakarta : LP3ES, 1985). Hal. 4[11] Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan sosiografi (Jakarta : Bulan Bintang, tt). hal. 95[12] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran Tafsir Sosial Berdasrkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta : Paramadina, 2002). Hal. 133[13] Rudolf Otto, The idea of Holy (Oxford : Oxford University, 1958). Hal. 5[14] Dawam Rahardjo, Ibid. hal. 136.[15] M. Dawam Rahardjo, ibid. hal. 141[16] Nurul Luth, Sosiologi sebuah Pengantar (Jakarta : Galaxy Puspa Mega, 1996). Hal. 90.[17] G Kartasapoetra, dan Kartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta : Bumi Aksara, 1992). Hal. 427[18] Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama Al-Quran : Jawaban al-Quaran terhadap Problematika Sosial (Yogyakarta : Pustaka Rihla, 2007). hal. 332[19] Waryono Abdul Ghafur, ibid[20] Ibid. hal. 332-333[21] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemiskinan, dan Kemodrnan (Jakarta : Paramadina, 2000). hal. 550[22] Nurcholish Madjid, Ibid, hal. 552[23] Waryono Abdul Ghafur, ibid[24] Nurcholish Madjid, Ibid, hal. 553[25] Ibid. Dalam hal ini pula Nurcholis Madjid, mengemukakan pendapat sosiolog modern, yaitu Eisenstandt, bahwa yang harus dipertentangkan adalah “modernitas” dengan “tradisionalitas”, bukan dengan tradisi an sich. Selanjutnya Nurcholish Madjid, mengungkapkan pandangan Abd al-Wahhab Khalaf yang menuraikan bahwa pembangunan mazhab dahulu juga menggunakan unsur-unsur tradisi untuk sistim hukum yang mereke kembangkan. Seperti halnya Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar parektek penduduk Madinah. Imam Syafi’i, setelah berdiam di Mesir merubah sebagian hukum-hukum perubahan adat-kebiasaan (dari Irak ke Mesir), karena itu ia mempunyai pandangan hukum seperti ; qawl qadim dan qawl jadid.[26] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975). Hal. 11[27] Elizabet K. Notingham, Religion dan Society terjm. Abdul Muis Naharong (Jakarta : Rajawali Press, 1987), hal. 37[28] Riaz Hasan, Keragaman Iman Studi Komperatif Masyarakat Muslim, terjm. Jajang Jahroni, dkk (Jakarta : Rajawali Press, 2006). Hal. 50[29] Ibid[30] Mohamad Zaki Hussein, Sosiologi Agama Durkheim, http://media.isnet.org/islam/Etc/Durkheim.html[31] Ibid[32] Riaz Hasan, Ibid hal. 50[33] Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia” dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Islam Indonesia (Bandung : Mizan, 1998) hal. 94[34] Nurul Luth, Sosiologi sebuah Pengantar…hal. 91-92[35] Kontjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta : Aksara Baru, 1965). Hal. 196[36] Riaz Hasan, Ibid hal. 127[37] Ibid. hal. 128[38] Ibid [39] Loius Ma’luf, Kamus Munjid (Beirut : Dar El-Mashreq, 1975) Hal. 917[40] http://pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/15/0406.htm. dan lihat pula http://www.jabar.go.id/user/view_menu.jsp?menu=Pariwisata&submenu[41] Ibid[42] Badri Yatim, Sejarah Petadaban Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 199)[43] Republika dalam Dialog Jum’at , Salahudin dan Peringatan Maulid (Jum’at, 30 Maret 2007)[44] Ibid[45] Goodwill Zubir, Republika ibid[46] Ibid[47] HMA. Tihami, Kepimpinan Kiyai di Banten Studi Tentang Agama dan Magi di Desa Pesanggrahan Serang Banten, (Serang : P3M STAIN Serang, 1999). Hal 115[48] Ibid[49] Ibid[50] Yang dimaksud pemimpin di sini, yiatu pemimpin yang mengatur dan mengorganisir, bukan pemimpin suatu upacara tradisi panjang mulud.[51] Imam dan makmum ini, biasanya kiyai, ustadz dan para santrinya. Kiyai, adalah sebagai elemen terpenting dalam lembaga pesantren. Kiyai merupakan gelar terhadap ulama dari kelompok Islam tradisional yang memiliki pesantren[52] Merupakan kesenian tradisional Kesultanan Banten abad ke-XVI, kesenian ini merupakan media penyebaran agama Islam di Banten, terdiri dari lima orang sebagai pemegang instrumen dan tujuh dan limabelas orang sebagai pendizikir. (Lukman Hakim, Banten dalam Perjalanan Jurnalistik (Pandeglang : Banten Heritage, 2006), hal 236)[53] Ibid, hal. 199-200[54] Ibid, hal. 201[55] Berkat, dari istilah bahasa Arab yang artinya mndapatkan keberkahan dari rizki yang diberikan oleh Allah, berkat dalam tradisi panjang mulud merupakan suatu simbol setelah melakukan prosesi upacara keagamaan. Berkat panjang mulud bagi orang yang ngeropok pada saat ini tidak lagi dengan membawa nasi beserta lauk pauknya, namu untuk efsiensi dan tidak langsung dimakan maka berkat dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ngeropok dengan mentahnya, seperti beras, mie instan, dan lain-lain.