oleh ;
Uib Sholahuddin Al Ayubi
Ade Fakih Kurniawan
1. Kesukubangsaan Etnis Cina dalam Masyarakat Majemuk
Sebelum mendeskripsikan berbagai jawaban sosiologis mengenai minoritas etnis Cina di Indonesia, pertama yang harus dipahami dan diingat bahwa Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Dalam masyarakat Indonesia, setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga masyarakat sukubangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.
Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiklnya.[1] Tanpa disadari oleh banyak orang Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas, Sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi secara individual maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional (seperti posisi orang Cina yang minoritas dibandingkan dengan pribumi) maupun pada tingkat masyarakat lokal (seperti posisi orang Sakai yang minoritas dibandingkan dengan posisi orang Melayu yang dominan di Riau). [2]
Penekanan dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, yaitu pada keanekaragaman sukubangsa telah menghasilkan adanya potensi konflik antar-sukubangsa dan antara pemerintah dengan sesuatu masyarakat sukubangsa.
Sejak Indonesia merdeka pada 1945, dasar negara Pancasila dengan motto Bhineka Tunggal Ika secara teoretis menjamin persamaan hak setiap kelompok etnis untuk hidup berdampingan dalam sebuah negara kesatuan. Pandangan ini, kalau dilihat lebih cermat, sebetulnya mencerminkan penerusan nilai-nilai tradisional di Nusantara seperti toleransi dan harmoni sebagai dasar utama untuk hidup berdampingan secara damai.
Ada kenyataan penting yang tak diragukan dalam konteks ini yang luput dari pernyataan atau dokumen resmi pemerintah: bahwa orang Indonesia keturunan Cina, sebagai sebuah kelompok etnis, mempunyai hak yang sama seperti kelompok etnis Indonesia lainnya seperti orang Maluku, orang Jawa, orang Sunda, dan lain sebagainya.
Dalam melakukan penelitian, kita menemukan prakonsepsi social yang berpengaruh secara mendalam pada pembentukan teori. Pada saat yang sama, teori-teori ini memiliki efek memperkuat keberadaan prasangka-prasangka, sehingga mengakibatkan lingkaran setan kebencian yang sebab-akibatnya sulit untuk dibedakan.
Dalam konteks ini, kami kira prasangka-prasangka antar-etnis terhadap etnis minoritas Cina tidak hanya terdapat pada kelompok “eksternal” (di luar minoritas). Kelompok eksternal ini berasal dari kalangan elite politik di Indonesia yang memetik keuntungan dari konflik antar-etnis. Kelmpok ini juga termasuk sebagian aparat birokrasi yang berurusan langsung dengan kelompok minoritas. Akan tetapi, prasangka juga terwujud dalam kelompok “internal”, artinya di dalam tubuh minoritas Cina sendiri.
Secara umum, penentuan kelompok sasaran yang diteliti dari kacamata politik akan membedakan antara orang Indonesia keturunan Cina (Warga Negara Indonesia atau WNI) dengan orang Cina yang berdomisili di Indonesia (Warga Negara Asing atau WNA).
Untuk mencegah kesalahpahaman ini, sangat penting bagi kita untuk menyepakati suatu definisi bagi kelompok sasaran penelitian tersebut. Sebutan yang umumnya dipakai seperti “Cina Perantauan”, “Cina Keturunan” atau “Etnis Cina”, meski menimbulkan kesalahpahaman atau kecurigaan rasial, dapat dipertahankan untuk alasan-alasan tertentu. Menurut Purcell, “Etnis Cina” adalah:
“…seluruh imigran Cina dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan, bahasa yang melingkupi budaya Cina, mereka yang memandang dirinya sebagai “Cina” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan Cina perantauan lain atau dengan Tiongkok secara social atau lainnya, tanpa memandang kebangsaan, bahasa atau kaitan erat dengan budaya Cina,”[3]
Definisi ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan definisi yang dibuat oleh Leo Suryadinata:
“Istilah Cina-Indonesia digunakan disini untuk merujuk pada etnis Cina di Indonesia yang memiliki nama keluarga/marga, tanpa memandang kewarganegaraannya.”[4]
Istilah “Cina” di Indonesia memang memiliki beberapa konotasi. Untuk menghapus konotasi yang negatif, istilah ini dalam pers Indonesia sekitar 1950-an diubah menjadi “Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk kepada orang Cina, dan “Tiongkok” untuk “Negara Cina”.[5]
Gejala sosial yang tidak terlihat secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari tetapi yang mendasar dan mendalam di dalam kehidupan anggota sukubangsa-sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan. Dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan orang Indonesia sukubangsa adalah sebuah ide dan sebuah kenyataan, dan kesukubangsaan adalah sebuah ideologi yang mempunyai kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar ataupun dibendung.
Kalau kita mendefinisikan sukubangsa sebagai sebuah kategori atau golongan sosial askriptif, maka sukubangsa adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai jatidiri yang askriptif dimana anggota sukubangsa mengaku sebagai anggota sesuatu sukubangsa karena dilahirkan oleh orang tua dari sukubangsa tertentu atau dilahirkan di dan berasal dari sesuatu daerah tertentu. Berbeda dari berbagai jatidiri lainnya yang diperoleh seseorang sebagai status-status yang diperoleh dalam berbagai struktur sosial yang sewaktu-waktu dapat dibuang atau diganti, maka jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tidak dapat dibuang atau diganti. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan ini tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.
Dalam setiap interaksi, jatidiri akan nampak karena adanya atribut-atribut yang digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya sesuai dengan hubungan status atau posisi masing-masing.[6] Dalam hubungan antar-sukubangsa atribut dari jatidiri sukubangsa adalah ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan. Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga sesuatu sukubangsa maka sejak dilahirkannya mau tidak mau akan terpaksa harus hidup dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya sebagaimana yang digunakan oleh orangtuanya dan keluarganya dalam merawat dan mendidiknya sehingga menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaannya tersebut.
Dalam masyarakat Indonesia sukubangsa dan kesukubangsaan adalah sebuah ide dan sebuah kenyataan yang ada dalam kehidupajn sehari-hari, dimana anggota-anggota masyarakatnya dilahirkan, dididik dan dibesarkan dalam suasana askriptif primordial kesukubangsaannya. Dalam suasana askriptif kesukubangsaan tersebut pembedaan antara siapa 'saya' dan siapa 'dia/kamu' dan antara siapa 'kami' dan siapa 'mereka' jelas batas-batasnya, dan selalu diulang dan dipertegas, yaitu batas-batas kesukubangsaan. Dalam ruang lingkup batas-batas kesukubangsaaan ini stereotip dan prasangka berkembang dan menjadi mantap dalam suatu kurun waktu hubungan antar-sukubangsa yang tidak terbatas. Akibatnya banyak saling salah pengertian di dalam komunikasi antar-sukubangsa, yang menyebabkan semakin lebarnya jarak dan mantapnya batas-batas atau pagar-pagar yang membatasi hubungan antara dua sukubangsa atau lebih. Akibat lebih lanjut dari stereotip dan prasangka ini adalah terwujudnya tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan kewajiban oleh sukubangsa yang dominan terhadap mereka yang tergolong lemah dan non-pribumi atau minoritas di dalam kehidupan sosial, politk, dan ekonomi. Apa yang dikemukakan oleh Thung Yu Lan mungkin dapat dilihat sebagai sebuah contoh tentang konflik antara pribumi setempat dengan orang Cina yang tidak pernah dapat dituntaskan.[7]
Corak yang penuh dengan stereotip dan prsasangka terhadap yang minoritas dan non-pribumi juga nampak dalam berbagai kebijakan pemerintahan nasional. Gejala ini dapat dipahami dengan memperhatikan bahwa para pejabat atau penguasa dalam sistem nasional berasal dari berbagai sukubangsa yang dominan di Indonesia yang telah secara sadar atau tidak sadar mengaktifkan kesukubangsaan mereka masing-masing dalam berbagai pengembilan kebijakan dan keputusan-keputusan sosial, ekonomi, dan politik untuk kepentingan-kepentingan mereka pada tingkat nasional maupun lokal. Sehingga seringkali ideologi sukubangsa dari si pejabat atau penguasa tersebut terwujud dalam berbagai kebijaksanaan sosial, ekonomi, dan politik yang dibuatnya, baik secara sadar maupun secara intiuitif yang primordial untuk memperoleh dukungan sosial, ekonomi, dan politik dari masyarakat sukubangsanya atau kelompok agamanya.
Dengan kata lain, sesungguhnya masyarakat Indonesia yang berdasarkan atas kebangsaan tetapi yang majemuk mempunyai sistem nasional yang askriptif dan primordial secara kesukubangsaan. Dalam perspektif ini tidak ada seorangpun yang dapat menjadi orang Indonesia tanpa harus menjadi anggota dari salah satu sukubangsa yang ada di Indonesia dan yang digolongkan sebagai pribumi. Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa program asimilasi atau pembauran yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru menjadi gagal berantakan.[8] Karena, meski orang Cina telah berganti nama menjadi nama Jawa, Sunda, atau Batak, dsbnya., namun tetap saja orang-orang Cina ini digolongkan sebagai “orang Cina”, bukan sebagai orang Indonesia yang pribumi. Begitu juga dalam kasus orang Cina yang telah berganti agama menjadi Islam, tetap saja digolongkan sebagai orang Cina, dan bahkan keislamannya dicurigai oleh sebagian orang sebagai hanya sebuah strategi untuk dapat berbisnis secara lebih leluasa dan menguntungkan di bawah label orang Islam. Disamping kenyataan seperti tersebut diatas berkenaan dengan kegagalan program pembauran, konsep pembauran itu sendiri juga tidak jelas. Orang Cina mau dibaurkan atau diasimnilasisakan ke dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat sukubangsa? Apakah yang namanya pembauran itu asal ganti nama atau ganti agama? Dalam kenyataannya, yang kontradiktif dengan program asimilasi atau pembauran yang disponsori oleh pemerintah Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri sampai dengan beberapa waktu yang lalu masih mendiskriminasi secara hukum orang-orang Cina yang warga negara Indonesia atau WNI, yaitu dengan cara diberi kode khusus di KTP berdasarkan identifikasi ke Cinaan tersebut. Ada dugaan bahwa berdasarkan kode tersebut pejabat pemerintah setempat dapat melakukan berbagai tindakan diskriminatif dan pemerasan. Begitu juga sampai dengan sekarang masih terdapat ketentuan hukum yang mewajibkan seorang anak Cina, yang orang tuanya adalah warga negara Indonesia, harus secara aktif memohon kewarganegaraan Indonesia kepada pemerintah. Atau kalau hal itu tidak dilakuknnya maka si anak Cina tersebut digolongkan sebagai warga negara asing atau tidak berkewarganegaraan. Di masa lampau, para pendatang di sebuah masyarakat sukubangsa pada umumnya cenderung hidup dan menetap di daerah perkotaan. Karena di daerah perkotaan itulah mereka dapat menyesuaikan kehidupan mereka secara lebih baik dengan cara hidup sebagai tenaga buruh atau pedagang, seperti yang dilakukan oleh orang Cina dan Arab dalam sejarah migrasi mereka di kepulauan Nusantara, yang tidak perlu harus berurusan dengan hak-hak ulayat atau adat berkenaan dengan pengolahan dan pemilikan atas tanah atau hutan yang menjadi hak prerogatif dari masyarakat sukubangsa setempat. Diantara orang Cina di Indonesia ada yang datang dan menetap di daerah pedesaan atau perkebunan milik orang-orang Belanda di zaman penjajahan Belanda, seperti yang terjadi di Depok, Tangerang, atau daerah lainnya. Sebagian besar dari mereka ini telah melebur atau terasimilasi menjadi orang setempat, karena meninggalkan ciri-ciri kesukubangsaan Cinanya (berganti menjadi beragama Islam, saling kawin dan beranak pinak dengan anggota masyarakat setempat, dan mengadopsi jatidiri sukubangsa setempat dan kebudayaannya). Sebagian lainnya masih tetap mempertahankan kesukubangsaan Cinanya, karena tetap mempertahankan keyakinan keagamaan Konghucu yang menekankan pentingnya hubungan ritual dengan leluhur, penggunaan kebudayaan dan terutama bahasa asalnya di Cina di dalam keluarga dan di dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan hidup dalam lingkungan komuniti mereka sendiri yang menjadi pendorong dan pen-stimuli dipertahankan dan dikembangkannya kebudayaan asal Cina mereka yang askriptif dan primordial. Mereka ini di Jakarta dikenal dengan nama Cina Benteng. Di daerah perkotaan di pulau Jawa mereka cenderung mengelompok dalam komuniti mereka sendiri. Wilayah komuniti ini dikenal dengan nama Pecinan, yang biasanya bukan hanya menjadi tempat tinggal tetapi juga menjadi tempat bisnis grosir dan berbagai kegiatan perdagangan eceran serta pelayanan jasa-jasa lainnya yang menjadi mata pencahariann spesialisasi mereka.
2. Konsep dan Corak Pembauran Etnis Cina
Dalam sebuah studi mengenai pembauran, Charles S. Coppel memaparkan empat pendekatan yang dilakukan tokoh-tokoh WNI keturunan Cina itu sendiri.[9]
Pendekatan pertama dilakukan oleh tokoh Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI), Siauw Giok Tjhan, yang mengemukakan konsep pembauran melalui pembentukan “Masyarakat Sosialis Indonesia”. Pendekatan kedua dikemukakan oleh anggota BAPERKI lain yang lebih democrat, Yap Thiam Hien. Menurutnya, pembauran dapat dilaksanakan melalui eliminasi (menghilangkan) prasangka dan jaminan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Yap memang dikenal sebagai tokoh yang gigih membela rakyat kecil hingga akhir hayatnya. Pendekatan ketiga dikemukakan oleh Sindhunata, tokoh Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (cikal bakal Bakom PKB) melalui asimilasi atau perkawinan. Sedangkan pendekatan keempatdikemukakan oleh Junus Jahya, tokoh muslim Tionghoa, yang mengusulkan pembauran melalui pemelukan agama pribumi mayoritas.[10]
Dari keempat kelompok pendekatan tersebut, dapat diambil kesimpulan adanya dua kelompok besar pembauran: yaitu kelompok Asimilasi dan kelompok Integrasi. Kelompok Asimilasi menginginkan pembauran dalam suatu masyarakat menjadi yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya dengan menghilangkan identitas dan budaya asal menjadi satu masyarakat yang satu dan seragam (melting pot), sedangkan Integrasi menginginkan pembauran dalam suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas atau budaya asal (multikulturalisme).
Kelompok Integrasi dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan yang ikut mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan Asimilasi oleh Sindhunata (Ong Tjhong Hay) yang ikut mendirikan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa).
Karena bangsa Indonesia bukanlah negara yang homogen budaya maupun ras-nya, maka Siauw Giok Tjhan menganggap bahwa etnis tionghoa yang sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia semestinya diakui sebagai salah satu suku bangsa yang sejajar dengan suku jawa, batak, sunda, dan lain sebagainya. Semua suku bangsa inilah yang akan membentuk sebuah Nation, yaitu: Indonesia, tanpa harus menghilangkan identitas dan budaya asal masing-masing. Menurut beliau, cara ini jauh lebih baik diterapkan di Indonesia, mengingat semboyan negara adalah: Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konsep ini, etnis tionghoa tidak perlu mengganti nama, agama ataupun kawin campur untuk menunjukkan bhaktinya bagi Indonesia. Cinta, Pikiran dan Tindakan seseorang-lah yang menentukan bhakti pada Ibu Pertiwi.
Sebaliknya, LPKB berpikiran bahwa untuk menyelesaikan masalah rasial ini secara cepat, etnis tionghoa sebagai minoritas harus meleburkan diri kepada mayoritas dengan cara menghilangkan identitas dan kebudayaan ke-tionghoa-annya. Jika konsep peleburan ini berhasil diterapkan maka tidak akan lagi perdebatan antara satu kelompok dengan kelompok lain karena yang tersisa hanyalah masyarakat Indonesia. Program LPKB menganjurkan proses asimilasi secara serentak di segala bidang kehidupan dengan menitik beratkan pada asimilasi sosial selain asimilasi kultural, politik, ekonomi dan kekeluargaan (pernikahan campur).
Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno tampaknya lebih menyukai konsep Integrasi dibandingkan Asimilasi sehingga Baperki dan Siauw Giok Tjhan menikmati kedekatan-nya dengan pemerintah. Selain dekat dengan pemerintahan Orde Lama, Baperki juga mendapat dukungan penuh dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi karena hal ini pula, setelah Gerakan 30 September tahun 1965, Baperki dianggap ormas-ormas “berbau” komunis dan “dekat” dengan Tiongkok Daratan sehingga dibubarkan dan dilarang, sedangkan Siauw Giok Tjhan ditahan selama kurang lebih 13 tahun tahun tanpa pernah melalui proses pengadilan.[11]
Di zaman Orde Baru, LPKB dianggap memainkan peranan penting dalam menghilangkan kultur, tradisi, agama (Konghucu) dan bahasa tionghoa lewat beberapa peraturan perundangan dan kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto (Inpres No. 14/1967). Bahkan di dalam tubuh BAKIN dibentuk sebuah badan (Badan Koordinasi Masalah Cina – BKMC) yang khusus mengawasi gerak-gerik etnis tionghoa di Indonesia.
Di era reformasi, perdebatan Integrasi vs Asimilasi di kalangan etnis tionghoa mulai menghangat kembali ketika kelompok Integrasi, yang kebanyakan berasal dari kalangan muda dan konghucu, mulai mendapat “angin” dari pemerintah. Perdebatan kadang melebar dan menjadi rumit ketika sampai kepada masalah agama di mana kalangan integrasi beragama Konghucu dan Tao kerap mencurigai kalangan institusi agama lain ikut berperan dengan kelompok Asimilasi, atau paling tidak membiarkan terjadinya diskriminasi pada masa Orde Baru karena institusi agama lain mendapat limpahan umat dari “pelarangan agama” Tao dan Konghucu di Indonesia. Apalagi selama ini tokoh-tokoh Asimilasi, termasuk pendukungnya seperti para konglomerat etnis tionghoa yang dekat dengan rezim Orde Baru, sebagian besar beragama non Konghucu dan Tao. Perdebatan ini seringkali mengkerucut dan mengakibatkan Perpecahan. Semuanya terjadi karena dendam dan trauma yang bersumber dari rasa takut.
3. Sejarah Kebijakan Pemerintahan terhadap Etnis Cina di Indonesia
Banyak dari kebijakan dan undang-undang mengenai keturunan Cina menyebabkan timbulnya batasan-batasan yang menahan perkembangan identitas kebudayaan Tionghoa.
Bahkan sebelum penjajah Belanda menciptakan tiga kelompok etnik sosial yang memiliki peraturan peraturan yang berbeda sama satu lainnya, imigran Tionghoa yang sudah tiba di Indonesia dan memiliki derajat yang berbeda-beda, masih mencoba mempertahankan identitas etnis aslinya. Beberapa dari keturunan Tionghoa ini memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga dengan warga pribumi. Hal ini disebabkan karena di masa dinasti Ming (Qing) di Tiongkok, keturunan Tionghoa yang meninggalkan tanah airnya akan dilarang untuk kembali lagi ke daratan Tiongkok.[12] Oleh karena itu mereka berusaha untuk menciptakan dan membangun keluarga baru di Indonesia. Kelompok tersebut menggunakan bahasa daerah di tempat tinggalnya sebagai bahasa sehari-hari, di lain pihak mereka masih menganut adat istiadat Tionghoa seperti berdoa menurut kepercayaan Tionghoa tradisional[13] atau memperingati tahun Tionghoa baru (Imlek). Kelompok ini disebut ‘Peranakan’ Tionghoa.
Selanjutnya, pada saat pengusaha-pengusaha Belanda membutuhkan pekerja-pekerja kasar atau ‘kuli’ untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan, akan didatangkan orang orang keturunan Tionghoa yang berasal dari kelompok yang berbeda. Kelompok ini berbeda dari kelompok Peranakan Tionghoa karena kelompok ini akan diantarkan keluarganya ke Indonesia dan mereka akan mempertahankan ‘kemurnian’ keturunannya.[14] Kelompok ini disebut ‘Totok’ Tionghoa. Dan kelompok ini tidak memiliki kesetiaan terhadap penjajah Belanda atau penduduk setempat, karena menurut mereka Indonesia hanya tempat sementara di mana mereka bisa mendapatkan dan mengirim cukup dana ke tanah airnya Tiongkok. Mereka merasa akan lebih baik jika mereka dapat kembali ke Tiongkok setelah mereka berhasil memperoleh apa yang mereka inginkan. Dapat diketahui bahwa Peranakan dan Totok masih ingin memelihara identitas Tionghoanya, yang terpisah dari orang Pribumi. Keputusan ini membuat mereka menjadi sumber kecurigaan bagi masyarakat Pribumi, selama dan sesudah perjuangan Kemerdekaan Indonesia dan periode periode selanjutnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada tahun 1907, pemerintah Belanda membagi kependudukan di Indonesia dalam tiga kelompok. Peranakan dan Totok Tionghoa berada pada kelompok yang dinamakan ‘Timur Asing’ atau ‘Eastern Orientals’.[15] Kedudukan kelompok ini berada di antara kelompok orang-orang Pribumi dan kelompok warga negara Belanda, yang tentu saja menduduki posisi paling utama. Ini adalah usaha yang sengaja dilakukan oleh penjajah Belanda untuk mempertahankan keterpisahan masyarakat Tionghoa dan penduduk Pribumi yang disebut ‘Divide and Rule’. Hal ini disebabkan oleh adanya kekhawatiran jikalau masyarakat Tionghoa bersatu dengan orang Pribumi, sebab jika mereka bersatu mereka akan memiliki kekuatan untuk menentang penjajahan Belanda di Indonesia.[16] Usaha ini dimaksudkan penjajah Belanda untuk memperburuk pandangan orang Pribumi terhadap keturunan Tionghoa. Salah satu contoh dari usaha tersebut adalah hak istemiwa terhadap keturunan Tionghoa seperti pendidikan dan kesempatan untuk menjadi warga negara Belanda, yang dapat menciptakan kesempatan kerja yang lebih baik. Keuntungan yang lain sebagai keturunan Tionghoa, khususnya kelompok Peranakan, memilih peluang bekerja untuk pemerintahan dan pengusaha Belanda sebagai perantara, karena sebagian dari mereka menguasai bahasa Belanda dan bahasa setempat. Akibat dari perbedaan status ini, penduduk setempat merasa adanya ketidakadilan yang membuat mereka iri dan marah. Jadi tidak hanya keinginan identitas terpisah saja yang menciptakan perasaan curiga di antara penduduk setempat, tetapi juga, proses pemisahan dan timbulnya prasangka yang dengan sengaja diciptakan oleh penjajah Belanda. Perasaan inilah yang terbawa hingga saat ini.
Kelompok Peranakan terbagi menjadi dua kelompok politik, kelompok pertama adalah Chung Hwa Hui (CHH) ini, mereka mendukung penjajah Belanda.[17] Kelompok kedua adalah Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang mendukung Gerakan Kemerdekaan Indonesia.[18] Beberapa tokoh dari partai ini berjuang bersama dengan tokoh tokoh lain bukan keturunan Tionghoa untuk kemerdekaan Indonesia. Namun Kenyataan ini sering dilupakan oleh masyarakat Indonesia dan Penulis sejarah.[19] Pada sisi lain sebagian besar masyarakat Totok merasa hanya daratan Tiongkok yang bisa mewakili dan melindungi kepentingan merkeka, sehingga mereka tidak memiliki kesetiaan politik terhadap penjajah Belanda atau kependudukan setempat.[20] Oleh karena itu keturunan Tionghoa dianggap tidak memiliki ketentuan politik, yang pada akhirnya menimbulkan kesan bahwa kesetiaan dan kesungguhan hati mereka terhadap Indonesia tidak bisa diandalkan.[21] Terlebih lagi dengan adanya Gerakan Nasionalis Cina yang mempengaruhi kelompk Totok untuk lebih men-cina-kan diri lagi dari warga Pribumi pada masa sebelum penjajahan Jepang,[22] yang memberi kesan kesetiaan masyarakat Tionghoa lebih besar terhadap Tiongkok daripada Indonesia.
Metode ‘Divide and Rule’ terhadap keturunan Tionghoa terbawa terus sampai masa penjajahan Jepang pada periode Perang Dunia Kedua (PD-II). Penjajah Jepang dengan sengaja memisahkan dan memaksa orang-orang keturunan Tionghoa untuk belajar di sekolah yang dibuat khusus untuk mereka, dan mereka diharuskan untuk menggunakan bahasa Mandarin dalam proses belajar mengajar.[23] Lebih dari itu mereka jugh diharapkan untuk berbahasa Mandarin di luar jam sekolah. Beberapa orang keturunan Tionghoa juga diperkerjakan oleh tentara Jepang sebagai seorang mata mata. Hal ini menyebabkan bertambahnya pandangan buruk terhadap Keturunan Tionghoa. Karena mereka dianggap membantu penjajah Jepang, yang tentu saja sangat dibenci karena perlakuan mereka yang sangat kejam terhadap masyarakat pribumi. Selain itu penduduk keturunan Tionghoa merasa bimbang dan mengalami kesulitan dalam menentukan masa depan mereka. Beberapa dari mereka masih merasa seperti penduduk asing di Indonesia, walaupun mereka memiliki kehidupan di Indonesia. Dengan adanya penjajahan oleh Belanda dan Jepang, serta hubungan batin yang masih ada dengan Tiongkok, tetapi Indonesia juga, mereka tidak memiliki kepastian harus mendukung pihak yang mana. Seperti yang diucapkan Liem Koen Hian, pendiri PTI (Partai Tionghoa Indonesia), walaupun Peranakan Tionghoa memiliki kebudayaan yang cenderung lebih mencerminkan Indonesia, kedudukan keturunan Tionghoa akan terombang ambing selama situasi Indonesia dan luar negeri yang berubah ubah.[24] Dan seperti yang telah dibahas sebelumnya, faktor-faktor di ataslah yang menyebabkan timbulnya ketidaktentuan pilihan masyarakat Tionghoa di bidang politik.
Mengingat adanya kejadian-kejadian tersebut, tidaklah mengherankan apabila pada periode saat ‘Dutch East Indies’ menjadi Republik Indonesia, Presiden dan wakilnya, Soekarno dan Hatta, tidak percaya bahwa masyarakat Tionghoa memiliki kesetiaan terhadap Republik Indonesia.[25] Prasangka yang diakibatkan oleh kejadian bersejarah yang tersebut di atas juga dipengaruhi oleh undang-undang yang dibuat oleh penjajah Belanda dan Jepang telah menyebabkan timbulnya perasaan tidak percaya terhadap keturunan Tionghoa selama Zaman ini.
Pada tanggal 30 September 1965 (dikenal G30S/PKI) terjadi sebuah kudeta yang menimpa Indonesia, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan pemerintahan Soekarno mencurigai PKI (Partai Komunis Indonesia) berusaha mengambil alih kekuasaan dan kepemimpinan Indonesia. Kejadian ini menyebabkan meninggal dunia wafatnya beberapa tokoh-tokoh utama ABRI. Sebagai negara Komunis terbesar, Tiongkok yang juga merupakan salah satu tetangga Indonesia, diduga terlibat dalam G30S/PKI dan keberadaan serta pendukungnya menjadi ancaman terhadap keamanan nasional Indonesia. Keturunan Tionhghoa masih ingin mempertahankan status kebudayaan mereka walaupun pada periode-periode sebelumnya mereka masih memiliki ketidakpastian dalam hal politik. Akibatnya, pemerintah merasa terancam oleh keadaan tersebut di atas karena mereka mengira bahwa keturunan Tionghoa masih bagian dari Cina Komunis.[26] Oleh karena itu pemerintahan Republik Indonesia harus mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat Tionghoa untuk menjamin keselamatan Indonesia. Sebab kebanyakan pemimpin termasuk Soekarno dan Hatta, beranggapan bahwa Indonesia dapat kembali aman apabila seluruh rakyatnya bersatu.[27] Dan untuk itu, diharapkan tidak adanya perbedaan suku, status, dan kebudayaan. Akibatnya pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan Asimilasi atau Pembauran lengkap terhadap keturunan Tionghoa[28] dan memutuskan untuk mengeluarkan undang-undang guna mencapai tujuan mereka. Berapa undang-undang diciptakan untuk mendukung keputusan mereka adalah:
Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966. Undang undang ini mengenai penggantian nama untuk Warga Negara Indonesia yang memakai nama Tionghoa. Penggantian nama ini tidaklah wajib untuk keturunan Tionghoa, akan tetapi, pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa usaha ini akan membantu pembauran menjadi lebih cepat. Kebanyakan anggota masyarakat Tionghoa menentukan untuk mengganti namanya, tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka memakai nama Tionghoanya.[29]
Instruksi Presiden No.14 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina. Undang-undang ini melarang mengamalkan perayaan Hari Raya Tionghoa, penggunaan bahasa Tionghoa, dan adat istiadat yang sama, di depan umum. Selain ini, undang ini, walaupun tidak langsung, menolak agama Kong Hu Chu sebagai agama resmi Indonesia. Instruksi ini dicabut oleh Keputusan Presiden tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina.[30]
Surat edaran SE.02/SE Ditjen/PPG/K/1998. Ini melarang penerbitan dan percetakan tulisan atau iklan beraksara dan yang menggunakan bahasa Mandarin di depan umum (Tempo; 17 August 2004; hal 36–37). Undang ini dicabut oleh Instruksi Presiden No.4/1999 dan memperbolehkan pelajaran dan penggunaan Bahasa Tionghoa.[31]
Peraturan Menteri Perumahan No.455.2-360/1988. Ini melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbarui Klenteng Tionghoa.[32]
Keppres 240/1967 tgl. April 1967 tentang Kebijaksanaan pokok yang menyangkut WNI Keturunan Asing.[33]
Akan tetapi walaupun undang-undang ini diciptakan untuk mendorong adanya tujuan pencapaian pembauran lengkap, masih ada beberapa hukum-hukum, khususnya di bidang perekonomian, yang menentang tujuan tersebut.[34] Ini adalah salah satu alasan utama yang menjelaskan kegagalan undang-undang di atas mencapai pembauran lengkap. Contoh yang paling jelas yang memperlihatkan fenomena ini adalah keputusan yang diambil di Seminar Angkatan darat untuk Jenderal-jenderal yang paling tinggi pada tahun 1966.[35] Keputusan ini menyebutkan bahwa masyarakat keturunan Tionghoa seharusnya dibatasi dalam bidang perekonimian sehingga keterlibatannya dalam bidang yang lain, misalnya, bidang politik bisa dihindari. Jenderal-jenderal ini juga mendorong adanya tindakan tersebut karena mereka mengetahui bahwa masyarakat dan perusahaannya bisa membantu perekonomian Indonesia yang pada waktu itu sangat lemah.[36] Dari ini, bisa dilihat bahwa walaupun pemerintahan Suharto menginginkan pembauran lengkap antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat bukan Tionghoa, mereka masih memperbolehkan aktivitas dan undang-undang yang mendorong dan memperkuat identitas etnis Tionghoa yang terpisah. Misalnya perbedaan perlakuan yang diterima masyarakat Tiongoa dicerminkan dalam:
Keppres No. 14A/1980. Undang-undang ini berarti bahwa semua lembaga pemerintah dan kementerian harus memberikan perlakuan istemewa kepada pengusaha pribumi. Itu juga mewajibkan bahwa di mana ada patungan antara seorang Pribumi dan seorang bukan pribumi, pengusaha Pribumi harus memilik 50% dari nilai perusahaan dan juga harus memegang peranan aktif dalam menjalankan perusahaannya.[37]
Sistem Cukong adalah contoh yang lain di mana praktis pemerintahan Suharto menentang kebijikannya terhadap masyarakat keturunan Tionghoa dan pembauran. Sistem ini juga dihasilkan dari keputusan di atas, yaitu membatasi Tionghoa dalam aktivitas ekonomi. Sistem Cukong ini berasal dari sistem ‘Ali-Baba’ dan sistem Benteng yang berada selama permerintahan Soekarno.[38] Sistem Cukong ini adalah patungan di bidang bisnis antara seorang Tionghoa dan seorang Pribumi. Tidak seperti sistem ‘Ali-Baba’, sistem Cukong hanya memanfaatkan orang pribumi yang sudah berkuasa. Biasanya dalam hubungan ini, Si Pribumi menyediakan surat izin dan fasilitas, sedangkan Si Tionghoa menanamkan modal dalam bisnis, dan menjalankan itu. Akan tetapi aktivitas, praktek, dan hukum ini semuanya membantu masyarakat Tionhgoa memperkuat posisi terpisah dari masyarakat lain.
Selain di bidang perekonomian, masih ada hukum-hukum dalam bidang yang lain yang bertentangan tujuannya dalam pembauran lengkap selama Orde Baru. Syarat yang masih diteruskan sampai sekarang adalah KTP (Kartu Tanda Penduduk) orang keturunan Tionghoa, yang masih punya berbeda nomor identifikasi daripada nomor yang berada pada KTP bukan Tionghoa.[39] Tindakan ini sebenarnya mengidentifikasikan orang Tionghoa dari masyarakat bukan Tionghoa, yang harus menentang sebuah kebijakan yang bertujuan membuat setiap orang berbudaya dan beridentitas yang sama. Dalam kata kata Leo Suryadinata perlakuan ini dalam realita ini “...telah melestarikan identitas etnis Tionghoa”.[40]
Akibatnya, dari pembicaraan sejarah di atas, bisa disimpulkan bahwa di seluruh Indonesia dan selama beberapa periode yang berbeda dalam sejarah daerahnya, sudah ada masyarakat Tionghoa yang terpisah dari orang-orang setempat. Jadi tidak mengherankan kalau ada identitas kebudayaan atau etnis Tionghoa yang masih kuat. Mengingat sejarah orang-orang Tionghoa dan keberadaan mereka di Indonesia usaha yang mencapai pembauran lengkap dulu, relatif baru dan tidak lama. Faktor ini dan identitas terpisah yang bersejarah berarti bahwa pembauran lengkap, yaitu penghapusan kebudayaan Tiongoa, akan sulit dicapai. Akan tetapi keberadaan hukum-hukum yang mendorong tujuan pembauran lengkap berarti hanya memberi kesempatan yang sempit meraih pembauran semacam ini.
[1] Parsudi Suparlan, "Ethnic Groups of Indonesia", The Indonesian Quarterly, Vol. 7, No.2, 1979, hal. 55-75.
[2] Lihat lebih jelasnya dalam Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Tearsing Dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk. Jakarta: Yayasan OBOR, 1995
[3] V. Purcell, The Chinese in Southeast Asia, London, 1965, hlm. 3
[4] Leo Suryadinata, Eminent Indonesian Chinese, ISEAS, Singapore, 1981
[5] Yusiu Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina: Evaluasi 33 Tahun di Bawah Rejim Soeharto. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000, hlm. xxix
[6] Parsudi Suparlan, , "Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa". Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia, 1999, hlm. 150.
[7] Thung Yu Lan, "Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam". Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 23, No. 58, 1999, hlm. 21-35.
[8] Thung Ju Lan, "Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia". Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. 1999a, hlm. 3-23.
[9] Charles S. Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, Oxford University Press, 1983. hlm. 89.
[10] Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia. Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000, hlm. 7
[11] Joehanes Budiman, Permasalahan Etnis Tionghoa di Indonesia, makalah diskusi Kebangsaan National Integration Movement (NIM), 9 Desember 2006 di One Earth, Ciawi (tidak diterbitkan).
[12] Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia”. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2002. hlm. 70
[13] Stuart. W Greif,. WNI; Problematik Orang Indoensia Asal Cina. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hlm. 1-3.
[14] Ibid., hlm. 3
[15] Ibid., hlm. xi
[16] Leo Suryadinata,. Negara dan Etnis Tionghoa.. hlm. 8
[17] Leo Suryadinata,. Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China. Kuala Lumpur: Heinemann Educational Books, 1978, hlm. 54.
[18] Ibid., hlm. 56.
[19] Leo Suryadinata,. Negara dan Etnis Tionghoa.. hlm. 21-23.
[20] Leo Suryadinata,. Pribumi Indonesians.. hlm. 53.
[21] Leo Suryadinata,. Pribumi Indonesians.. hlm. 21-22.
[22] Stuart. W Greif,. WNI.., hlm. 6.
[23] Leo Suryadinata,. Pribumi Indonesians.. hlm. 147.
[24] Leo Suryadinata,. Pribumi Indonesians.. hlm. 59.
[25] Leo Suryadinata,. Pribumi Indonesians.. hlm. 25-33.
[26] Leo Suryadinata,. Pribumi Indonesians.. hlm. 45-47.
[27] Leo Suryadinata,. Pribumi Indonesians.. hlm. 47.
[28] Stuart. W Greif,. WNI.., hlm. xii-xiii.
[29] Stuart. W Greif,. WNI.., hlm. xvii.
[30] Rebecca Burchell. Community Perceptions about Keppres 61/2000: Case Study Yogyakarta. Makalah, tidak dicetak. 2004, hlm. 56.
[31] Tempo; 17 August 2004; hal 36-37
[32] Ibid.,
[33] Stuart. W Greif,. WNI.., hlm. xx.
[34] Leo Suryadinata,. Pribumi Indonesians.. hlm. 4.
[35] Leo Suryadinata,. Negara dan Etnis Tionghoa.. hlm. 92.
[36] Leo Suryadinata,. Negara dan Etnis Tionghoa.. hlm. 92-93.
[37] Leo Suryadinata,. Negara dan Etnis Tionghoa.. hlm. 91.
[38] Ibid.,
[39] Leo Suryadinata,. Negara dan Etnis Tionghoa.. hlm. 98.
[40] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar